Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
KENAIKAN tarif air PAM Jaya sebesar 71,3% pada Januari 2025 mendapat sorotan tajam dari Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Francine Widjojo dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kenaikan ini diberlakukan kepada para penghuni apartemen, kondominium, serta industri dan niaga lainnya berdasarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta 730/2024.
Francine menyatakan bahwa Kepgub tersebut cacat formil karena tidak ada Kepgub di tahun 2023 yang mengatur tarif batas atas dan tarif batas bawah air minum PAM Jaya, sebagaimana diatur dalam regulasi yang berlaku. "Yang bisa ditemukan adalah Kepgub tahun 2022 yang mengatur tarif batas atas dan tarif batas bawah untuk tahun 2023," ungkap Francine.
Francine menjelaskan bahwa konsep ini mirip dengan ketentuan dalam ketenagakerjaan di mana harus ada penetapan upah minimum terlebih dahulu sebagai landasan batas bawah upah pekerja. “Tanpa adanya Kepgub di tahun 2023 yang mengatur tarif, maka Kepgub 730/2024 tidak memiliki landasan hukum yang kuat,” jelasnya.
Kepgub 730/2024 Diduga Melanggar Aturan
Lebih lanjut, Francine juga menyebutkan bahwa Kepgub 730/2024 cacat hukum karena adanya kesalahan klasifikasi pelanggan yang melanggar Permendagri 21/2020 dan Pergub 37/2024. Dalam Kepgub tersebut, penghuni apartemen dan kondominium ditetapkan sebagai pelanggan komersial K III (industri/niaga) yang diharuskan membayar tarif penuh. Padahal, seharusnya mereka masuk dalam kategori K II (rumah tangga/hunian) yang membayar tarif dasar.
“Kenaikan sebesar 71,3% menjadi Rp 21.500 per meter kubik (dari semula Rp 12.550) juga melanggar tarif batas atas air minum PAM Jaya. Berdasarkan rumus aturan yang berlaku, tarif maksimal seharusnya hanya Rp 20.269 per meter kubik,” ujar Francine.
Menurut Francine, layanan PAM Jaya saat ini hanya berupa air bersih dan bukan air minum, sehingga belum ada landasan hukum terkait tarif air bersih tersebut. “Karena UU SDA, PP 122/2015, Permendagri 21/2020, sampai Pergub hanya mengatur tarif air minum PAM Jaya, dan air minum didefinisikan sebagai air yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) Gading Nias Residences, Edison Manurung, mengkritik keras pernyataan anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Pandapotan Sinaga. Pandapotan sebelumnya menyatakan bahwa penghuni apartemen tidak berhak menerima subsidi air dan seharusnya membayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Edison menilai bahwa pernyataan tersebut menunjukkan ketidakpahaman Pandapotan terhadap persoalan yang dihadapi penghuni rumah susun.
“Selama ini, pelanggan rumah susun PAM Jaya tidak pernah menerima subsidi. Sebaliknya, kami justru membayar tarif paling tinggi,” tegas Edison.
Menurut Edison, warga rumah susun untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti di Gading Nias ditetapkan dengan tarif golongan rumah susun menengah, bukan rumah susun sederhana sesuai Kepgub 730/2024. “Kami sudah bersurat agar golongan kami disesuaikan, tapi ditolak. Kenapa anggota dewan terhormat ini tidak membela kami? Padahal, kami sudah menyampaikan persoalan ini dalam audiensi dengan mereka,” ujarnya.
Edison juga menambahkan bahwa rusunami di Gading Nias masuk dalam program pemerintah “Pembangunan 1.000 Tower” pada era Wakil Presiden Jusuf Kalla.
“Selama ini kami tidak mendapatkan subsidi dari PAM Jaya karena kami membayar dengan tarif rumah susun menengah,” lanjut dia.
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI), Adjit Lauhatta, mengungkapkan ketidakadilan yang dirasakan warga rumah susun akibat kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Perumda Air Minum Jaya (PAM Jaya). Menurutnya, kelompok pelanggan rumah susun disamakan dengan gedung komersial dalam kategori tarif air bersih, yang mengakibatkan lonjakan biaya hingga 71%.
Adjit menjelaskan bahwa warga rumah susun dikategorikan dalam Kelompok III (K III) bersama dengan gedung-gedung komersial seperti perkantoran, pusat perdagangan, dan kondominium. Akibatnya, tarif air bersih yang semula Rp12.550 melonjak menjadi Rp21.500 per meter kubik. Menurutnya, hal ini tidak adil karena rumah susun merupakan hunian yang seharusnya masuk dalam kategori pelanggan rumah tangga.
"Dalam peraturan di Indonesia, tidak ada istilah apartemen, yang ada adalah rumah susun untuk hunian. Istilah apartemen hanya digunakan sebagai strategi pemasaran," ujar Adjit dalam audiensi bersama Komisi B dan Komisi C DPRD DKI Jakarta baru-baru ini.
Ia juga menyoroti Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 37 Tahun 2024 tentang Tata Cara Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya. Dalam pasal 10 peraturan tersebut, pelanggan PAM Jaya dikelompokkan ke dalam empat kategori: Kelompok I, II, III, dan Khusus. Namun, menurut Adjit, Pasal 12 ayat (1) dengan jelas menyebutkan bahwa Kelompok II (K II) mencakup pelanggan rumah tangga yang menggunakan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dengan tarif dasar.
"Kami memang tinggal di gedung bertingkat, tetapi tetap rumah tangga yang menggunakan air untuk kebutuhan sehari-hari. Seharusnya kami masuk dalam Kelompok II, bukan Kelompok III yang dikenakan tarif penuh layaknya gedung komersial," tegasnya.
Lebih lanjut, Adjit menilai pengelompokan rumah susun ke dalam kategori K III tidak hanya keliru tetapi juga merugikan penghuni. "Ini tidak tepat, bahkan zalim, karena menyamakan kami dengan pusat perbelanjaan dan gedung-gedung bisnis lainnya. Pasal 13 dalam Pergub harus dibaca dengan cermat dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini. Hukum seharusnya berkembang, bukan kaku dan mengabaikan realitas yang ada," ujarnya dengan nada kecewa.
Dalam Pasal 13 Pergub tersebut disebutkan bahwa pelanggan Kelompok III adalah mereka yang menggunakan air untuk mendukung kegiatan perekonomian dengan membayar tarif penuh. Adjit menegaskan bahwa mayoritas warga rumah susun tidak menjalankan bisnis seperti depot air isi ulang atau rumah makan di unit mereka.
"Jadi mengapa PAM Jaya tidak mengusulkan perubahan golongan kami ke Gubernur? Padahal mereka sendiri yang mengajukan kenaikan tarif ini kepada PJ Gubernur Heru," tandasnya.
Dengan situasi ini, P3RSI mendesak agar pemerintah dan PAM Jaya segera mengkaji ulang kebijakan penggolongan pelanggan air untuk rumah susun agar lebih adil dan tidak memberatkan warga. (Z-10)
Jakhabitat yang diluncurkan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 2022, adalah sebuah program yang dirancang untuk meningkatkan akses terhadap hunian di Jakarta.
DPRD DKI Jakarta meminta agar program rumah DP nol rupiah dicoret dari program Pemprov DKI Jakarta.
Indeks Kepuasan penghuni rumah susun sederhana didapat dari studi penelitian yang digelar Jakarta Property Institute (JPI)
Diketahui, sejumlah warga yang tinggal di Rusunami Petamburan mengadukan Pemprov DKI ke Ombudsman, agar memberikan ganti rugi terkait penggusuran.
Perwakilan warga Rusun Petamburan, yang memenangkan gugatan terhadap Pemprov DKI Jakarta itu, mengadukan Anies lantaran dinilai melakukan maladministrasi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved