Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
MELANGKAHKAN kaki ke kawasan Melawai, Jakarta Selatan, seolah meninggalkan Ibu Kota dalam sekejap mata.
Meski struktur bangunan sejumlah rumah toko (ruko) tidak berbeda jauh dengan ruko-ruko tua umumnya di Jakarta, sebagian besar ruko di kawasan itu menggunakan nama khas Jepang bahkan ditulis dengan huruf 'Negeri Sakura'.
Apalagi, di kawasan ruko-ruko yang mengelilingi pusat perbelanjaan Blok M Square tersebut telihat banyak orang Jepang hilir mudik, terutama menjelang malam.
Mereka mengenakan pakaian rapi khas eksekutif muda dan datang beramai-ramai.
Itulah kawasan yang dikenal dengan sebutan Little Tokyo.
Mulai restoran, toko swalayan, hingga tempat hiburan khas Jepang bisa ditemukan di sana.
Mereka yang datang rata-rata merupakan kaum ekspatriat asal Jepang yang sedang bertugas di Indonesia.
Tujuan mereka beragam.
Ada yang hendak makan malam, berkumpul dengan teman-teman sesama orang Jepang, berkaraoke ria, hingga mencari hiburan malam.
Suasana ala Tokyo menjadi lebih kental begitu memasuki restoran-restorannya, misalnya salah satu restoran tertua di kawasan tersebut, Kira Kira Ginza.
Dari luar pun restoran yang telah beroperasi selama 30 tahun itu tampak seperti restoran Jepang mini.
Papan namanya yang bernuansa merah putih bertuliskan huruf kanji Jepang.
Pintu restoran berbentuk pintu geser dari kayu oak dengan kaca di tengahnya sehingga kita bisa melongok ke bagian dalam restoran.
Setiap pengunjung disambut dengan bahasa Jepang Irasshaimase? yang berarti 'Ada yang bisa saya bantu?'
Restoran itu terdiri atas tiga bagian.
Ada sushi bar yang langsung menghadap ke dapur tempat para chef memasak, ada pula beberapa meja seperti restoran pada umumnya.
Dinding-dinding ruangan dipenuhi ornamen khas Jepang dan kertas pengumuman berbahasa Jepang.
Siaran televisi yang diputar pun siaran dari Jepang.
Demikian juga buku menu ditulis dalam bahasa Jepang, mulai sushi, ramen, takoyaki, hingga sashimi.
Lengkaplah, pengunjung bak tiba-tiba berada di 'Negeri Sakura'.
Malam itu di bawah terang lampu yang dipasang di beberapa sudut, para pengunjung asyik berbincang menggunakan bahasa ibu mereka.
Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak di sela meneggak bir yang mereka pesan.
Emi Takeya, 38, perempuan keturunan Jepang yang telah menetap di Indonesia sekitar 20 tahun, mengatakan restoran Jepang bermunculan di lokasi tersebut karena dahulu para ekspatriat asal Jepang banyak yang menetap di kawasan Kebayoran Baru, yang tak jauh dari Melawai.
"Awalnya hanya satu-dua (restoran). Chef Kira Kira Ginza bahkan bukan profesional, tapi dipuja-puja orang-orang Jepang di Jakarta," ujarnya, pekan lalu.
Karena makin banyak warga negara Jepang yang rindu akan kuliner dan suasana negara asal itulah, jumlah restoran serupa di kawasan tersebut terus bertambah.
Bahkan ada di antara mereka yang mendatangkan chef profesional dari Jepang.
Informasi dari mulut ke mulut di antara mereka efektif membuat kawasan tersebut terus tumbuh.
"Apalagi orang Jepang suka sekali makan, minum, dan bernyanyi. Di kawasan ini, semua itu bisa dilakukan," tambahnya.
Kampung halaman
Salah seorang ekspatriat asal Jepang, Tani Noto, 38, datang ke kawasan itu setidaknya tiga kali dalam satu minggu. Ia telah menetap di Jakarta selama dua tahun.
"Saat awal-awal berada di Jakarta, saya belum memiliki banyak teman. Akan tetapi, kemudian saya diberi tahu seorang rekan tentang tempat ini. Setelah datang, saya bisa berteman dengan orang-orang baru di sini," ujarnya.
Menurutnya, kawasan Melawai memang berbeda dengan Little Tokyo di beberapa negara lain.
Namun, ia mengaku senang karena bisa menemukan tempat dengan makanan dan suasana bagai di kampung halamannya.
"Jakarta dan Tokyo sangat berbeda. Namun, di sini saya setidaknya merasa sedikit lebih dekat dengan rumah," tuturnya. (J-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved