TERKAIT wacana kenaikan tarif penumpang Commuter Line atau KRL di oleh Pemerintah, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) telah melakukan survei berdimensi ATP dan WTP pada konsumen KRL pada Oktober 2021, di wilayah Jabodetabek dan Rangkasbitung.
Survei dilakukan secara langsung tatap muka dengan responden. Jumlah responden yang disurvei sebanyak 2.000 orang, dari 20 stasiun di wilayah Jabodetabek dan Rangkasbitung, Banten.
Beberapa temuan inti dalam survei tersebut adalah yaitu terkait persepsi responden terhadap wacana kenaikan tarif, sebanyak 355 (17,75%) responden menyatakan "tarif naik wajar", sedangkan sebanyak 175 responden (8,75%) menyatakan "tarif tetap", alias tidak perlu naik tarif.
Dengan kata lain, porsi responden yang setuju kenaikan tarif lebih besar, daripada yang tidak setuju/menolak kenaikan tarif.
Kemudian, sebanyak 526 responden (26,3%) menyatakan puas dengan pelayanan sekarang, dan sebaliknya sebanyak 1.065 responden (lebih dari 50%) menyatakan agar PT KCI selaku pengelola KRL terus meningkatkan pelayanan.
Dari aspek ATP (Ability to Pay) diperoleh angka bahwa ATP penumpang untuk jarak 25 km pertama sebesar Rp 4.285 (tarif eksisting Rp 3.000). Sedangkan untuk jarak 10 km pertama, ATP penumpang sebesar Rp 1.605 (tarif sekarang Rp 2.000). Artinya aspek ATP penumpang untuk jarak 10 km pertama lebih rendah daripada tarif eksisting.
Baca Juga: Pemerintah Beberkan Alasan Utama Tarif KRL Bakal Naik Usai ...
Sementara itu, dari aspek WTP (Willingness to Pay) diperoleh angka bahwa nilai WTP penumpang untuk 25 km pertama adalah Rp5.156, sedangkan untuk 10 km pertama nilai WTP-nya Rp 2.177.
"Maka dari hasil analisis data, kombinasi antara aspek ATP dan WTP, rekomendasinya adalah ada potensi bagi pemerintah untuk menaikan tarif KRL sebesar Rp5.000 untuk jarak 25 km saja. Sedangkan untuk jarak 10 km pertama tarif tidak perlu naik, karena nilai ATP-nya lebih rendah dari tarif eksisting," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, Jumat (14/1).
Selain itu, terkait dampak pandemi Covid-19, juga diperoleh data bahwa dampak terhadap penumpang cukup dalam. Sebanyak 830 responden (lebih dari 40%) mengaku pendapatannya turun, pada kisaran 25%, bahkan sampai 100%.
Sementara itu, ironisnya, sebanyak 414 responden (lebih dari 25%) mengalami kenaikan pengeluaran. Jika mengacu pada aspek ini, maka sebaiknya pemerintah menambah dana Public Service Obligation (PSO) untuk PT KAI, agar tidak terjadi kenaikan tarif KRL.
"Demi menjaga keberlangsungan pelayanan pada konsumen, maka penambahan biaya operasional bagi KRL mutlak diperlukan. Penambahan dana operasional dimaksud bisa atas penambahan dana PSO, atau kenaikan tarif pada konsumen. YLKI lebih memilih penambahan dana PSO," kata Tulus. (OL-13)
Baca Juga: Siap-siap Tarif KRL Jabodetabek akan Naik Tahun Ini