Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Gelagapan dalam Gelap

Vidya Pinandhita
05/8/2019 20:32
Gelagapan dalam Gelap
Kondisi kawasan bundaran Patung kuda yang terdampak pemadaman listrik, Jakarta, Minggu (4/8). Akibat listrik padam aktivitas Jakarta lumpuh(MI/PIUS ERLANGGA)

MINGGU (4/8) kemarin warga Jakarta dibuat gelagapan. Listrik di seluruh sudut kota padam. Ponsel hilang koneksi. Kereta listrik lumpuh total, jalan raya semrawut lantaran lampu lalu lintas ikut mati. Dalam hitungan detik, ibu kota lumpuh mendadak.

Siang itu kami sedang kondangan, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Seusai bersalam-salaman dengan pengantin, kami menikmati hidangan tanpa ada kecurigaan Jakarta bakal gelap dan gerah bukan main.

Mendadak ruang mewah bernuansa emas dan merah delima menjadi gulita Suara pemandu acara dari mikrofon sontak lenyap. Yang terdengar, sejumlah tamu mengeluh. “Yah mati lampu,” ucap ‘gandengan’ kondanganku. Waktu itu kami santai saja, sambil seruput vla manis dari hidangan puding stroberi.

Tamu-tamu sekeliling kami sontak mengaduh lagi, katanya sinyal mereka ambyar. Kami buka ponsel, tanda mati koneksi terpampang di sudut layar. Notifikasi pesan dari orang-orang penting mandek di udara, termasuk urusan kerjaan dan grup Whatsapp keluarga. Hari itu kami sadar, kehidupan bergantung pada notifikasi.

Kami keluar gedung, hendak pesan mobil online untuk pulang, berharap koneksi kembali mengudara. Gagal. Koneksi kami masih ambyar. Di lobi utama, para tamu kelimpungan sambil menggenggam ponsel pintar mereka. Rupanya kecerdasan ponsel belasan juta tak ada artinya kalau yang ‘empunya’ daya listrik setanah air tak beri lampu hijau.

Kami putar otak. Mungkin KRL bisa antar kami pulang ke Bekasi. Sudah siap berangkat ke Stasiun Tebet, sejumlah pesan mendarat di layar ponsel. Menurut laporan teman yang sedang terjebak di Stasiun Manggarai, KRL ikut modar.

Butuh waktu sekitar setengah jam untuk kami akhirnya dapat mobil online. “Maaf, Mbak. Susah sekali ya order-nya? Dari tadi saya juga susah dapat pelanggan. Aplikasi saya mandek,” jelas pak sopir. Baru masuk mobil, kami disambut gelagapan. Si bapak panik, aplikasi ojek online di ponselnya tak kunjung menerima panggilan pelanggan. Padahal, sejumlah titik kedap-kedip karena Menteng siang itu ramai calon pelanggan.

“Ini lagi kacau apa sih, Mas? Lampu lalu lintas sampai mati, kan bahaya. Sinyal juga jelek. Katanya lagi ada mati lampu se-Jakarta ya?” tanya si pak sopir, asik mengobrol dengan temanku yang kebetulan sehari-harinya blusukan di medan megapolitan.

Saya tentu saja tidak mengerti banyak soal kenapa bisa sebagian Pulau Jawa mati listrik. Yang pasti aku ikut gagap. Jelas, aku adalah salah satu dari para megapolis, warga megapolitan, yang karier, pergaulan, hingga, intelektualitasnya disuapi dan dininabobokan jaringan internet.

“Saya nggak bisa dapat pelanggan. Belum lagi, jalanan kacau banget, masa bisa sampai lampu di perempatan mati? Ini bakal lama ya gangguannya, Mas?” pungkas pak sopir. Wajar ia gelagapan. Sama sepertiku, si bapak sopir mobil online adalah antek maturitas teknologi, nasibnya bergantung pada yang ‘empunya’ listrik.

Penemuan baru berperan menyebabkan perubahan sosial, begitu menurut Soerjono Soekanto dalam Sosiologi Suatu Pengantar. Jika megapolis gelagapan karena sinyal amblas, boleh jadi ketergantungan pada koneksi dan notifikasi ponsel pintar sudah jadi kultur. Soal siapa yang bertanggung jawab atas sikap ‘manja’ masyarakat, coba kita ingat-ingat ‘siapa’ yang kita cari pertama saat bangun tidur tadi pagi. Jangan-jangan, notifikasi lebih dinanti dibanding celoteh keluarga di ruang makan.

Belum lagi di dunia maya, heboh berceloteh soal ‘hidup primitif’. Sehari mandek notifikasi, ibarat kembali ke zaman batu. Yang empunya listrik alias perusahaan setrum negara atawa PLN, bertanggung jawab atas heningnya grup Whatsapp keluarga akibat server modar. Atau lain kasus, akibat habis baterai.

Siang itu kami batal pulang. Dipikir-pikir, daripada gerah di Bekasi lebih baik ‘nongkrong’ sebentar di mal. Tentu saja, mal ramai bukan main. Beberapa toko gelap, tempat tertentu pun gerah gara-gara daya pendingin ruangan melemah. Kalau manusia primitif berburu makanan, kita megapolis berburu ‘colokan’. (A-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya