Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

60 Negara Bereaksi Akibat Gelombang Tarif Baru AS 

Thalatie K Yani
08/8/2025 08:00
60 Negara Bereaksi Akibat Gelombang Tarif Baru AS 
Ilustrasi(freepik)

LEBIH dari 60 negara di seluruh dunia tengah berjibaku merespons gelombang tarif baru dari Amerika Serikat yang mulai berlaku Kamis (8/8) waktu Washington. Kebijakan tarif yang diumumkan Presiden Donald Trump ini mengguncang tatanan perdagangan global yang telah terbangun selama puluhan tahun.

Tarif impor baru ini bervariasi dari 10% hingga lebih dari 40%, dengan beban terberat menimpa negara-negara seperti Swiss (39%), Brasil (40%), dan Suriah (41%). Sejumlah negara, baik maju maupun berkembang, memperingatkan risiko kehilangan lapangan kerja sebagai dampak langsung dari kebijakan ini.

Dari Protes Hingga Strategi Darurat

Brasil mengecam keras kebijakan tersebut. Presiden Luiz Inácio Lula da Silva menyebut tarif baru sebagai “pemaksaan yang tidak dapat diterima,” dan berencana menggelontorkan bantuan negara untuk mendukung industri terdampak.

Swiss mengajukan negosiasi ulang dengan AS setelah kunjungan darurat Presiden Karin Keller-Sutter ke Washington gagal menghentikan tarif 39%. Pemerintah Swiss menyebut dampaknya akan "memberatkan ekonomi berbasis ekspor" dan menyebut skenario ini sebagai “mimpi buruk.”

Taiwan masih menjajaki pembicaraan lanjutan dengan AS. Presiden Lai Ching-te menyebut tarif 20% yang dikenakan pada negaranya sebagai “sementara.”

Irlandia, yang tergabung dalam kesepakatan dagang UE-AS dengan batas tarif 15%, kini sedang menyusun strategi diversifikasi ekonomi yang selama ini sangat bergantung pada perusahaan multinasional AS seperti Intel, Pfizer, dan Johnson & Johnson.

Negara Berkembang Paling Terpukul

Negara-negara berkembang juga merasakan tekanan berat. Meski Lesotho mendapat keringanan tarif dari 50% menjadi 15%, industri tekstilnya sudah terlanjur terpukul akibat ketidakpastian selama beberapa bulan terakhir. Banyak pesanan dibatalkan dan pekerja dirumahkan.

Di Laos, tarif 40% disebut sebagai "palu godam terakhir" bagi sektor manufaktur yang mencoba bertahan di pasar AS. Asosiasi Industri Garmen Laos memperkirakan sekitar 20.000 pekerja terdampak langsung akibat kebijakan ini.

Tarif Timbal Balik dan Kepentingan Politik AS

Gedung Putih mengumumkan tarif ini sebagai bagian dari kebijakan “timbal balik,” menargetkan negara-negara dengan ketidakseimbangan neraca dagang terhadap AS. Presiden Trump mengklaim kebijakan ini akan menghasilkan miliaran dolar bagi ekonomi domestik.

Namun para ahli memperingatkan, tarif ini justru akan dibebankan kepada konsumen AS karena biaya impor yang lebih tinggi. Selain itu, Trump kini menghadapi gugatan hukum di pengadilan banding terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penetapan tarif.

Beberapa Negara Lolos dari Tarif Ekstrem

Negara-negara seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Pakistan berhasil mengamankan pengurangan tarif lewat negosiasi bilateral. Uni Eropa juga termasuk yang mendapat kesepakatan sebagian, meski tarif 27,5% untuk impor mobil dari Eropa tetap diberlakukan sementara kesepakatan final masih dirundingkan.

Presiden Asosiasi Industri Otomotif Jerman, Hildegard Müller, mengeluhkan kebijakan ini belum membawa kepastian. “Tarif sebesar itu membebani produsen mobil Jerman dan merugikan perdagangan transatlantik,” ujarnya.

India dalam Sorotan

India dikenai tarif 25%, yang bisa naik menjadi 50% setelah Trump menandatangani perintah eksekutif sebagai bentuk sanksi atas pembelian minyak dari Rusia. Delhi diberi waktu 21 hari untuk merespons. Trump juga mengancam akan menggunakan taktik serupa terhadap negara lain yang menjalin kerja sama dagang dengan Rusia. (The Guardian/Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya