Headline

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia

Fokus

MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan

Trump Ubah Sikap, Kirim Senjata ke Ukraina: Sinyal Perang Kembali ke Titik Awal

Thalatie K Yani
09/7/2025 05:51
Trump Ubah Sikap, Kirim Senjata ke Ukraina: Sinyal Perang Kembali ke Titik Awal
Donald Trump mengatakan AS akan mengirim lebih banyak senjata ke Ukraina.(Media Sosial X)

KONFLIK di Ukraina tampaknya kembali ke titik awal, setidaknya untuk sesaat. Dalam 48 jam terakhir, Presiden AS Donald Trump akhirnya menyuarakan pernyataan paling tegasnya sejauh ini mengenai dukungan militer bagi Ukraina. Kremlin kembali menunjukkan mereka tidak tertarik pada penyelesaian damai yang realistis.

Trump mengatakan AS akan “mengirim lebih banyak senjata” ke Ukraina. “Kita harus membantu mereka bertahan. Mereka sedang diserang habis-habisan,” ujarnya. Pernyataan itu muncul meski sebelumnya pemerintahannya mengumumkan penghentian pengiriman bantuan militer. Menteri Pertahanan Pete Hegseth yang berdiri di belakangnya tampak mengangguk menyetujui, meski pernyataan itu jelas bertentangan dengan sikap resmi beberapa hari sebelumnya.

Pentagon kemudian mengonfirmasi, atas arahan Trump, Departemen Pertahanan akan mengirim senjata pertahanan tambahan untuk memastikan Ukraina dapat melindungi diri sambil terus mendorong terciptanya perdamaian.

Trump-Zelensky

Perubahan sikap ini terjadi hanya beberapa hari setelah Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky melakukan panggilan telepon dengan Trump, membahas produksi senjata bersama dan kebutuhan sistem pertahanan udara. Zelensky sangat membutuhkan rudal Patriot, satu-satunya sistem yang mampu menahan serangan rudal balistik Rusia, yang distribusinya hanya bisa disetujui oleh AS.

Trump juga sempat berbicara dengan Kanselir Jerman Friedrich Merz, yang menawarkan untuk membeli sistem Patriot dari AS guna disalurkan ke Ukraina. Akibat perkembangan ini, Zelensky menyebut percakapannya dengan Trump sebagai “yang terbaik dan paling produktif selama ini.”

Meski Trump tidak menguraikan rincian lebih lanjut, sikapnya kontras dengan pendekatan Joe Biden yang kerap mengumumkan secara terbuka setiap dukungan militer kepada Kyiv—sebuah strategi yang justru memicu debat panjang dan ekspektasi tinggi dari Ukraina. Trump tampaknya memilih jalan sebaliknya: memberikan bantuan tanpa banyak bicara.

Pendekatan Lunak dengan Putin

Namun, kenyataannya, setelah enam bulan menjabat, Trump berakhir di posisi yang sama dengan Biden: bolak-balik antara pendekatan lunak terhadap Putin, relasi naik-turun dengan Zelensky, dan dukungan yang ragu-ragu terhadap Eropa. Perubahan sikap terbarunya menunjukkan betapa gentingnya situasi saat ini.

Penggunaan drone secara besar-besaran oleh Rusia untuk menyerang Kyiv mengungkap kelemahan sistem pertahanan udara ibu kota Ukraina. Sementara itu, sekitar 160.000 tentara Rusia dilaporkan berkumpul di utara dan timur garis depan. Tanpa dukungan militer tambahan, posisi Ukraina akan semakin rapuh.

Trump kini tampaknya menyadari satu hal: pendekatannya yang lembut terhadap Putin tidak membuahkan hasil. Bahkan jeda sementara dalam pengiriman bantuan militer—yang sejalan dengan keinginan Moskow—tidak mampu mengubah sikap Kremlin. Rusia tetap tidak menginginkan perdamaian.

Pengalaman pahit di Afghanistan, ketika AS hengkang terburu-buru setelah kesepakatan yang ditandatangani Trump dengan Taliban, menjadi bayang-bayang yang ingin dihindari Partai Republik. Kekalahan sekutu AS di Ukraina bisa menjadi noda permanen dalam sejarah mereka.

Kremlin Ke Sikap Semula

Di sisi lain, Kremlin pun kembali ke sikap semula. Setelah enam bulan bermain-main dengan diplomasi, Rusia kembali menuntut syarat-syarat mustahil. Menlu Sergey Lavrov menyatakan akar penyebab perang harus “dihapuskan”, mencantumkan tuntutan ekstrem seperti demiliterisasi Ukraina, pencabutan sanksi, penghentian gugatan hukum terhadap Rusia, dan pengembalian aset Rusia yang disita. 

Ia bahkan meminta Ukraina berjanji tidak akan bergabung dengan NATO, dan mengakui wilayah Ukraina yang diduduki—bahkan termasuk wilayah yang belum sepenuhnya dikuasai Rusia seperti Zaporizhzhia dan Kherson.

Putin menjual perang ini sebagai benturan eksistensial antara nilai-nilai Rusia dan NATO yang dianggap ekspansionis dan liberal. Untuknya, menerima gencatan senjata di bawah syarat AS akan menghancurkan narasi itu dan meruntuhkan semangat juang tentaranya.

Trump mungkin bisa “dimenangkan” dengan basa-basi diplomatik. Tapi Putin tidak akan melepaskan narasi bahwa tanah air sedang diserang. Kremlin tetap melihat musuh di tempat yang sama—AS dan sekutunya—karena itulah bahan bakar untuk perang pilihannya.

Kini, Ukraina kembali terjepit di antara dua kekuatan besar: AS yang masih bimbang dan Rusia yang makin agresif. Perang belum berakhir. Dan dalam ketegangan yang terus memuncak ini, dunia pun kembali menyaksikan babak baru dari konflik yang tak kunjung usai. (CNN/Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik