Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Sri Lanka, Alami Gagal Bayar Pertama di Negara Berkembang

Fetry Wuryasti
20/5/2022 10:55
Sri Lanka, Alami Gagal Bayar Pertama di Negara Berkembang
Mahasiswa di Sri Lanka berdemo menuntut pengunduran diri Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa atas krisis ekonomi negara yang melumpuhkan,(AFP)

SAAT pandemi, pasar obligasi banyak diwarnai kasus gagal bayar korporasi yang tumbang akibat kekurangan likuiditas untuk memenuhi kewajibannya. Krisis utang sewajarnya terjadi karena memang dampak yang luar biasa dan ekonomi yang melemah saat itu.

Baru saja negara-negara sudah mampu beradaptasi dengan pandemi, sejumlah krisis menghantui seperti krisis energi, krisis dari perang yang ujungnya menaikkan inflasi. Inflasi dan kenaikan harga komoditas menjadi penyebabnya.

Sehingga, pemerintah harus melakukan belanja yang lebih besar untuk memasok kebutuhan minyak dan komoditas lain untuk dalam negeri.

"Namun, ternyata hal tersebut semakin menekan anggaran negara hingga menyebabkan default sovereign bond Sri Lanka, sebuah negara di Kawasan Asia Selatan yang berbatasan dengan India," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, Jumat (20/5).

Lonjakan harga komoditas menguras anggaran negara yang memang sudah mengetat sejak pandemi. Hal ini membuat pemerintah Sri Lanka gagal membayar kupon sebesar US$78 juta Pada 18 April lalu untuk obligasi yang jatuh tempo pada 2023 dan 2028.

Default ini merupakan yang pertama sejak kemerdekaannya tahun 1948. Sehingga, Lembaga Pemeringkat Internasional, S&P, menurunkan peringkat sovereign menjadi Selective Default (SD). Peringkat obligasinya diturunkan menjadi Default (D) setelah dikonfirmasi bahwa pembayaran tidak dapat dilakukan setelah masa tenggang pembayaran kupon selama satu bulan juga.

Perusahaan Aset Manajemen, BlackRock dan Ashmore merupakan salah satu pemegang utama obligasi Sri Lanka. Sehingga, upaya dilakukan untuk merestrukturisasi dengan kreditur termasuk dua perusahaan manajemen tersebut.

Pemerintah Sri Lanka tengah meminta bantuan dari Lembaga Dana Moneter (IMF). Dana yang ditaksir untuk dapat keluar dari krisis utang tersebut sebesar US$3 – US$4 miliar untuk tahun ini.

Dikabarkan pula rencana barunya untuk melakukan rencana barunya untuk melakukan privatisasi atau menjual saham maskapai penerbangan nasional.

Sri Lanka bahkan kekurangan stok bahan bakar. Pemerintahnya pun menghimbau masyarakat untuk tidak mengantri di pom bensin karena memang tidak ada persediaan.

Bahkan, saat kapal minyak sudah berada di perairan Sri Lanka, tidak ada mata uang dollar untuk membayar. Utangnya sebesar US$53 juta atas pengiriman minyak sebelumnya dengan supplier yang sama.

Kini total utang luar negeri Sri Lanka telah mencapai US$51 miliar. Sementara cadangan devisa mereka hanya sekitar US$ 25 juta.

Gagal bayar Sri Lanka memberikan peringatan terhadap sovereign bond negara-negara berkembang mengenai krisis yang mungkin terjadi di negara berkembang yang memiliki utang besar, isu ekonomi dan sosial.

Apalagi situasinya saat ini semakin sulit di kala The Fed dan Bank Sentral lainnya menaikkan tingkat suku bunga, untuk menghantam gerak inflasi yang semakin liar. Hal ini membawa beban pembiayaan/ cost of fund semakin tinggi.

Setidaknya ada 14 negara ekonomi berkembang ditaksir mengalami excess yield atau selisih imbal hasil hingga 1.000 bps atas US Treasury di mana batas utangnya sudah mengalami tekanan.

"Jangankan 1.000 bps, spread sebesar 400 bps saja sudah tidak memberikan daya tarik untuk melakukan investasi," kata Nico.

Pemegang pasar obligasi terburuk dunia saat ini yaitu Lebanon, Belarus dan Ukraina. Pada saat yang sama, tekanan pada kenaikan harga makanan dan energi sudah mulai menggelembung di negara lainnya seperti Mesir, Tunisia dan Peru.

Mempertimbangkan hal tersebut, Sri Lanka menjadi episentrum awal dari trend krisis utang negara berkembang.

Kabar baiknya, Indonesia layaknya bunga yang sedang mekar dengan pemulihan yang pesat yang didorong oleh kenaikan harga komoditas. Jika kebanyakan negara lain disulitkan dengan kenaikan harga komoditas, Indonesia justru diuntungkan.

Terlebih, saat ini pemerintah Indonesia sangat proaktif dalam membuat kebijakan untuk memanfaatkan momentum dalam menambah pundi-pundi penerimaan negara yang dijaga dan diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat.

"Tentu harapannya jangan sampai, Indonesia terganggu dengan cerita dari Sri lanka, yang dapat mendorong imbal hasil ikut mengalami naik," kata Nico. (OL-13)

Baca Juga: Sri Lanka Rusuh, Kemlu Pastikan 273 WNI Aman



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya