LARANGAN jilbab di sekolah memicu protes di kalangan Muslim di India selatan. Kerumunan besar turun ke jalan pada Senin (7/2) untuk memprotes pembatasan tersebut.
Kebuntuan di negara bagian Karnataka telah membangkitkan ketakutan di kalangan komunitas minoritas. Mereka mengatakan peristiwa itu sebagai peningkatan penganiayaan di bawah pemerintahan nasionalis Hindu Perdana Menteri Narendra Modi.
Siswa di sekolah menengah yang dikelola pemerintah diberi tahu untuk tidak mengenakan jilbab pada bulan lalu. Aturan itu segera menyebar ke setidaknya dua lembaga pendidikan lain di negara bagian itu.
"Ini bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan hak-hak yang diberikan di bawah konstitusi India," kata Sumayya Roushan, presiden Girls Islamic Organization Karnataka, pada konferensi pers, Senin. "Larangan itu melanggar pilihan pribadi yang menjadi hak siswa dan tidak merugikan orang lain."
Baca juga: Lata Mangeshkar Bernyanyi dalam Seribuan Film dan 27 Ribu Lagu
Rekaman media sosial menunjukkan ratusan orang berkumpul di jalan dan mengibarkan bendera India di setidaknya dua kota di Karnataka. Itu merupakan demonstrasi terbaru dalam beberapa hari yang diadakan untuk mengutuk larangan tersebut.
Salah satu sekolah sejak itu sebagian mengalah dengan mengizinkan siswa perempuan Muslimnya untuk menghadiri kelas dengan jilbab. Akan tetapi sekolah memerintahkan mereka duduk di ruang kelas yang terpisah, menurut media lokal.
Dua sekolah lain yang menerapkan larangan jilbab menyatakan hari libur dan ditutup pada Senin.
Partai Bharatiya Janata sayap kanan Modi memerintah negara bagian Karnataka dan beberapa anggota terkemuka telah memberikan dukungan mereka di balik larangan tersebut. Kebijakan itu dikritik oleh para pemimpin politik lain.
Baca juga: Badan Amal Bunda Teresa di India Peroleh kembali Akses Dana Asing
"Dengan membiarkan hijab dalam pendidikan mereka, kita merampok masa depan putri-putri India," kicau Rahul Gandhi dari partai Kongres oposisi minggu lalu. Pengadilan tinggi negara bagian diperkirakan endengarkan petisi pada Selasa dan memutuskan akan membatalkan larangan tersebut atau tidak. (AFP/OL-14)