Headline

Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.

Warga Palestina Trauma Tentara Israel Sering Gerebek Rumah

Mediaindonesia.com
01/12/2020 05:55
Warga Palestina Trauma Tentara Israel Sering Gerebek Rumah
.(AFP/Hazem Bader)

TERDAPAT laporan memberatkan dari tiga kelompok hak asasi manusia Israel yang mengutuk praktik militer memasuki rumah-rumah Palestina di wilayah pendudukan. Yang lebih parah lagi, sering kali hal tersebut berlangsung di tengah malam.

Laporan tersebut, yang mencakup kesaksian tentara, dokter, dan keluarga Palestina, mengklaim bahwa pasukan Israel memasuki rumah rata-rata lebih dari 250 kali setiap bulan untuk melakukan penangkapan. Ada juga tujuan lain, termasuk memetakan rumah, menggunakan atap untuk pos pengamatan, mencari uang atau senjata, dan intelijen.

Tentara yang diwawancarai untuk laporan itu, termasuk beberapa yang berbicara dengan media Observer. Mereka percaya fungsi penting dari banyak penggerebekan yaitu intimidasi. Ini merupakan klaim yang dibantah oleh militer Israel.

Hasil penelitian selama dua tahun oleh kelompok Breaking the Silence, Yesh Din, dan Physicians for Human Rights Israel, itu merinci dampak psikologis yang parah kepada individu, keluarga, dan masyarakat luas Palestina dari penggerebekan tersebut. Apalagi biasanya penggerebekan tidak disertai dokumen dan bersifat sewenang-wenang. Laporan itu menyarankan, mungkin hal itu tergolong melanggar hukum internasional.

Menjelaskan proses tersebut, laporan tersebut mengatakan, "Dengan tidak ada kewajiban, di bawah hukum militer, untuk mendapatkan surat perintah pengadilan yang menyetujui intrusi ke domain pribadi, tentara tidak memberikan surat perintah atau dokumen lain kepada anggota keluarga tentang alasan mereka memasuki rumah."

Direktur Eksekutif Breaking the Silence, Avner Gvaryahu, yang pernah melakukan invasi rumah Palestina saat menjadi sersan di unit penembak jitu, menggambarkan laporan itu sebagai bagian dari pendudukan yang lebih sering disembunyikan dari pandangan publik yang lebih luas.

“Seperti pos pemeriksaan dan penghalang pemisah, itu merupakan bagian dari inti pendudukan. Untuk tentara seperti saya, itu berakhir ketika kami berjalan kembali ke jip dan kembali ke kamp untuk tidur. Tapi bagi orang Palestina itu adalah trauma jangka panjang. Artinya, anda tidak bisa merasa aman di rumah atau tempat tidur sendiri. Bagi saya, kenangan terakhir yakni tatapan tajam ketakutan dan kebencian."

Pendudukan Israel di wilayah Palestina mengikuti Perang Enam Hari pada 1967. Sementara perjanjian damai Oslo yang ditandatangani antara Palestina dan Israel seharusnya menandai berakhirnya pendudukan.

Namun, permukiman Yahudi--yang dianggap ilegal oleh sebagian besar komunitas internasional--terus berlanjut. Mereka akan membangun di atas tanah yang diklaim oleh Palestina sebegai negara masa depan. Karenanya, militer Israel terus melakukan operasi, baik di wilayah yang seolah-olah berada di bawah kendali penuh Palestina dan wilayah yang masih di bawah pemerintahan Israel.

Di antara sekitar 40 tentara Israel yang memberikan kesaksian untuk laporan tersebut, di antara mereka menggambarkan pelatihan yang belum sempurna dan sering kali kurangnya keterampilan bahasa untuk berinteraksi dengan keluarga Palestina yang mereka temui.

Bagi beberapa orang seperti Fadel Tamimi, imam berusia 59 tahun di masjid di Nebi Salih di Tepi Barat, penggerebekan telah menjadi hal biasa selama 20 tahun terakhir. Dia mengatakan dia tidak bisa menghitung tepatnya tentara memasuki rumahnya. Setidaknya, lebih dari 20 kali dan paling baru pada 2019, tepat sebelum pandemi virus korona.

“Alasan mereka melakukan ini yaitu menakuti semua orang. Untuk menunjukkan siapa yang berkuasa. Mereka tidak pernah mengatakan mengapa atau menunjukkan perintah atau selembar kertas,” katanya kepada Observer pekan lalu.

"Pada suatu kesempatan, saya ingat saya pergi ke masjid untuk salat subuh yang pertama. Ketika saya kembali, tentara ada di rumah saya. Mereka telah menempatkan semua keluarga saya di dapur. Ketika saya pergi ke kamar tidur, saya menemukan tiga tentara sedang beristirahat di tempat tidur."

“Konsekuensinya psikologis. Anda merasa privasi anda sedang diserang. Ini mengerikan bagi keluarga konservatif dan masyarakat tradisional. Tujuan mereka yakni mengontrol dan mempermalukan," tandas Fadel.

"Apa yang terlintas di benak saya?" kata Dr Jumana Milhem, psikolog yang bekerja dengan Physicians for Human Rights Israel. Ini merupakan proses dehumanisasi seluruh masyarakat. "Intinya adalah menghancurkan jiwa manusia mereka."

Pada tingkat individu, kata Milhem, konsekuensinya dapat menyebabkan trauma. "Orang-orang melaporkan stres berminggu-minggu setelah kejadian ini. Ada beberapa faktor risiko PTSD (gangguan stres pascatrauma) yang kami lihat dalam persentase tinggi di masyarakat Palestina secara umum. Di sini kita tidak berbicara tentang satu trauma tetapi aspek dari trauma pendudukan yang terus menerus. Perasaan terpenjara di negaramu sendiri. Perasaan terus-menerus diekspose."

Untuk tentara yang terlibat dalam penggerebekan dan menceritakan pengalaman mereka, masalah ini memiliki lapisan kompleksitas yang berbeda. Dua orang menggambarkan pengalaman mereka menyerbu rumah-rumah Palestina sebagai mewakili titik balik bagi mereka. Paling tidak dalam cara mereka melihat diri mereka sebagai tentara dan individu yang menyenangkan atau baik.

Bagi M, seorang wanita yang hanya terlibat sekali dalam invasi rumah setelah menjadi sukarelawan untuk melakukan penyerbuan sebagai tentara nontempur, prospek pada awalnya tampak menarik.

“Itu bukan pekerjaan saya, tetapi mereka membutuhkan wanita untuk mencari wanita Palestina (di Hebron). Saya pikir itu keren. Saya berumur 19 tahun dan sedang bermain perang. Saya ingin menjadi bagian darinya untuk melihat itu dari dalam. Pada akhirnya itu menjadi titik balik bagi saya," ujar M.

"Saat saya masuk, komandan berkata, 'Anda harus menggeledah perempuan'. Keluarga itu sangat ketakutan. Prajurit lain memiliki senapan mesin kecil. Dia memegangnya di depan anak tiga tahun yang manis. Dia memakai topeng lalu melepas topeng dan tersenyum kepada anak laki-laki itu. Saya pikir ini sangat kacau."

“Namun yang terpenting yaitu Anda berada di rumah pada pukul tiga pagi. Kita tidak bisa berada di sana tanpa menghancurkan hidup mereka dan menciptakan teror yang kemudian kembali kepada kita."

Bagi Ariel Bernstein, 29, yang bertugas di unit infanteri elite, Sayeret Nahal, kegelisahannya dimulai pada 2014 ketika militer Israel membanjiri Tepi Barat dengan tentara untuk mencari tiga remaja yang diculik dan dibunuh oleh Hamas.

Ia bercerita mereka ditunjukkan gambar udara dengan setiap rumah diberi nomor. Mereka diberi tahu untuk memilih empat rumah secara acak untuk dimasuki. "Rumah kedua yang kami masuki berupa rumah besar dan mewah. Saya memutuskan untuk tinggal bersama keluarga. Baik saya maupun salah satu tentara tidak berbicara bahasa Arab sehingga komunikasi sangat terbatas. Keluarga itu terus menerus mengucapkan hal yang sama dalam bahasa Arab."

Ia mulai frustrasi dan menyuruh mereka tutup mulut. Mereka lantas memohon kepadanya dan tiba-tiba orang tua di rumah itu mengalami kejang, gemetar di tanah, berbusa, dan keluarga menangis histeris. Ia baru menyadari mereka pasti membicarakan tentang obatnya.

"Saya tidak ragu bahwa penting untuk menemukan korban penculikan, tetapi juga jelas dari para komandan bahwa kami harus menggunakan pencarian untuk memanfaatkan secara maksimal setiap rumah yang kami masuki untuk menemukan sesuatu yang mencurigakan. Selalu ada alasan keamanan resmi untuk melindungi nyawa warga Israel. Tapi dalam praktiknya, itu berarti mengontrol warga sipil (Palestina)."

Seorang juru bicara Pasukan Pertahanan Israel membantah bahwa memasuki rumah merupakan bentuk intimidasi. Frekuensinya,lanjut dia, tergantung pada ancaman keamanan. "Masuknya aparat keamanan ke rumah-rumah warga Palestina di wilayah Yudea dan Samaria (Tepi Barat yang diduduki) dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di daerah tersebut, yang tidak mensyaratkan terbitnya perintah peradilan dulu."

Tujuan utama masuknya pasukan keamanan ke rumah-rumah tersebut yaitu menggagalkan pelaksanaan kegiatan teroris terhadap sasaran Israel. Akibat operasi ini, ratusan operasi teroris ditangkap serta banyak senjata, bahan peledak, dan dana milik organisasi teroris disita.

Ia menegaskan banyaknya aksi masuk ke rumah warga Palestina tergantung pada tingkat ancaman teroris dan kebutuhan operasional untuk menggagalkan tindakan teroris terhadap sasaran Israel. Imbuhnya, klaim bahwa masuk ke rumah Palestina di Yudea dan Samaria digunakan untuk intimidasi itu salah. (The Guardian/OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya