Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Ekonomi Kian Terpukul, Warga Hong Kong Keluhkan PHK

Faustinus Nua
03/8/2020 12:45
Ekonomi Kian Terpukul, Warga Hong Kong Keluhkan PHK
Pekerja medis berjalan melewati barisan tempat tidur di rumah sakit lapangan sementara di Asia World Expo di Hong Kong, Sabtu (1/8).(AFP/ISAAC LAWRENCE)

Pandemi covid-19 yang merebak setelah protes anti-pemerintah pada Juni tahun lalu, telah memukul ekonomi Hong Kong. Puluhan ribu orang harus berjuang untuk bertahan hidup di masa krisis ini. Beberapa kehilangan pekerjaan. Yang lain telah dipaksa cuti dan mengalami pemotongan gaji dan khawatir apakah akan kembali ke pekerjaan yang pernah mereka miliki.

Selama berbulan-bulan dalam ketidakpastian, mereka harus menggunakan tabungan, meminta bantuan anggota keluarga, atau meminjam untuk bertahan hidup. Yang paling putus asa harus menggunakan permohonan bantuan kesejahteraan sosial.

Baca juga: Terinfeksi Covid-19, PM Kosovo Avdullah Hoti Jalani Isolasi Mandi

Tingkat pengangguran di kota semiotonom itu melonjak ke level tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Dilaporkan selama periode April hingga Juni angka pengangguran mencapai 6,2% melampaui yang terburuk setelah krisis keuangan global pada 2008. Total penganggur membengkak menjadi 240.700 untuk periode 3 bulan ini.

Tingkat pengangguran Hong Kong naik di semua sektor ekonomi utama, dengan sektor makanan dan minuman paling terpukul di 14,7%. Kemudian diikuti oleh sektor konstruksi 11,2% dan seni, hiburan dan rekreasi 10,8%, sektor hotel 9,5% dan ritel di 7,7%.

Sementara itu, Hong Kong tengah bergulat dengan gelombang ketiga infeksi covid-19. Pada Minggu (2/8) dilaporkan 115 kasus baru dan 35 meninggal.

Krisis Pekerjaan jadi Masalah Pelik

"Saya hanya bekerja 5 atau 6 hari sebulan." Xu Guiquan (62), sedih ketika dia memikirkan apa yang ada di masa datang. Seorang migran asal Tiongkok itu bekerja sebagai pelukis, memperbaiki dan merenovasi. Sejak pandemi dirinya jarang mendapat orderan baru dari para prlanggannya.

“Saya pergi keluar setiap hari untuk mencari kerja, tetapi sebagian besar tidak berhasil,” kata Xu, yang tinggal bersama istrinya, seorang warga Hongkong (62) dan tengah menganggur.

Sebelum protes anti-pemerintah meletus pada Juni tahun lalu, ia mencari nafkah dengan layak mendapatkan pekerjaan dari perusahaan konstruksi dan menghasilkan lebih dari HKD20.000 per bulan.

Kerusuhan itu, kemudian mempengaruhi penghidupannya ketika ia tidak bisa pergi ke tempat kerja, lantaran banyak jalan diblokir oleh pengunjuk rasa, dan penghasilannya pun turun menjadi sekitar HKD8.000 per bulan. Ditambah pandemi saat ini, situasinya menjadi lebih buruk lagi. Sejak Februari, penghasilannya menyusut di bawah HKD6.000 per bulan dan ia harus membayar HKD4.000 untuk sewa tempat tinggalnya.

"Banyak pelanggan menunda rencana dekorasi atau perbaikan mereka, dan banyak bisnis tutup. Selama beberapa bulan terakhir, saya hanya bekerja 5 atau 6 hari setiap bulan."

Tanpa tabungan, pasangan itu telah mengancing ikat pinggang mereka, hanya membeli daging beku termurah dan makanan kaleng. “Untungnya kami menerima bantuan pemerintah HKD7.500 satu kali untuk mereka yang berada di sektor konstruksi, atau kami bahkan tidak dapat membayar makanan kami,” katanya.

Pasangan itu belum meminta bantuan anak-anak mereka, tidak ingin menyusahkan mereka karena tidak banyak juga mendapat penghasilan di Tiongkok.

Jika situasinya tidak membaik, Xu dan istrinya mungkin harus mengajukan permohonan kesejahteraan sosial, atau bahkan kembali ke Tiongkok. Namun, katanya, ada yang lebih buruk. "Saya tahu pekerja yang berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk. Lajang, tanpa uang dan tanpa kerja, mereka hanya memiliki tempat tidur 3 kaki persegi," katanya.

Warga lainnya, seorang ibu tunggal Diane Lau (34) merasa putus asa pada bulan Februari ketika dia kehilangan pekerjaan sebagai instruktur keramik. Pemilik tempat dia mengajar tidak memberitahukan alasan dia diberhentikan dari pekerjaannya dan tidak membayar kompensasi. Dia hanya diberitahu untuk berhenti datang bekerja.

"Saya sedih," kenangnya. "Saya harus membayar sewa bulanan sebesar HKD2.000 untuk flat perumahan umum saya dan saya tidak punya tabungan."

Diane yang sudah bercerai itu juga harus menanggung hidup putra yang berusia 12 tahun. Biasa, dia menghasilkan HKD7.000 sebulan, namun kini benar-benar sulit dan mantan suaminya tidak berkontribusi apa-apa.

Untuk bertahan, dia dan putranya hanya mengenakan pakaian bekas dan menghindari makan di luar atau bahkan menggunakan angkutan umum. Dia pergi ke Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Kesejahteraan Sosial, sesuatu yang selalu dianggapnya sebagai pilihan terakhir.

"Saya enggan mengajukan permohonan bantuan kesejahteraan sosial karena saya selalu ingin mandiri," katanya. "Tapi saya tidak punya cara lain, karena saya pikir saya tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan dalam 2 atau 3 tahun ke depan."

Butuh 3 bulan sebelum pembayaran tunjangan pertama sekitar HKD5.000 cair dan sambil menunggu, dia meminjam HKD10.000 dari ibunya yang bekerja pembersih sekolah.

"Aku benar-benar merasa malu meminta ibuku untuk membantu," katanya.

Lulusan ilmu filsafat itu, sebelimnya merasa puas dengan pekerjaannya membuat anting-anting keramik, liontin, gelang dan pot, sesekali menjual kreasinya di pasar. Meskipun berpenghasilan rendah, menjadi instruktur memberinya waktu untuk merawat putranya, yang memulai sekolah menengah setelah liburan musim panas.

Sementara itu, seorang pelayan senior Apple Lam (44) mempunyai pendapatan sekitar HKD15.000 sebulan setelah bekerja lebih dari 8 tahun di sebuah restoran. Kemudian, pada bulan Maret, dia disuruh mengambil cuti tanpa dibayar.

"Sejak hari itu, saya merasa sangat cemas dan bermasalah, dan saya menderita insomnia setiap hari," kata ibu dua anak yang sudah berusia 9 dan 18 tahun itu.

Suaminya, seorang pekerja sektor konstruksi, juga menganggur sejak Januari hingga Mei. Dia biasa menghasilkan hingga HKD20.000 sebulan, tetapi hanya membawa pulang sekitar setengah dari jumlah itu dalam beberapa bulan terakhir. Pengeluaran mereka melebihi HKD10.000 sebulan, termasuk dukungan untuk orang tuanya.

"Kadang-kadang ketika saya memberi tahu orang lain tentang situasi saya, saya tidak bisa menahan tangis," kata Lam.

Suaminya memang memenuhi syarat untuk mendapat bantuan sosial pandemi senilai HKD7.500 di sektor konstruksi. Tetapi Lam khawatir bila situasinya terus memburuk. "Tabungan kami hampir habis," katanya.

Billy Chan Chun-wai (30) seorang penjual awalnya berpenghasilan HKD15.000 sebulan ditambah komisi dan bonus sebelum protes anti-pemerintah Hong Kong pecah tahun lalu. Kemudian pengecer fashion tempat dia bekerja bangkrut. Sekarang pandemi telah memperburuk prospeknya untuk menemukan pekerjaan penuh waktu. Dia melamar hampir 20 pekerjaan ritel penuh waktu dalam 5 bulan terakhir, tetapi tidak menerima satupun panggilan.

"Ini adalah istirahat terpanjang yang pernah kualami sejak meninggalkan sekolah," sindir Chan. "Sangat sulit untuk menemukan pekerjaan penuh waktu, dan saya pikir saya tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan dalam beberapa bulan mendatang."

Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di bulan Juni sebagai salesman sementara di Sogo department store di Causeway Bay. Dia masih bisa menghasilkan HKD10.000 sebulan.

Tanpa kualifikasi akademis yang kuat, ia tidak dapat melihat dirinya bekerja selain dari penjualan. Lajang dan tinggal bersama orang tuanya, ia beruasaha mengurangi pengeluaran.

"Saya masih menyumbang HKD3.000 sebulan untuk biaya hidup saya kepada orang tua saya dan telah mengambil tabungan saya. Saya hanya harus mengencangkan ikat pinggangku sampai menemukan pekerjaan penuh waktu," ungkapnya.

Selain itu, masih banyak warga Hong Kong yang tengah mangalami nasib yang sama. Krisis politik dan kesehatan telah membuat ekonomi kota itu kian terpuruk. Bahkan, hingga kini belum ada kepastian untuk bisa melewati situasi ini dengan baik. (SCMP/H-3).



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya