Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

KBRI Den Haag Pantau WNI yang Sulit Periksa Kesehatan

Haufan Hasyim Salengke
02/4/2020 13:18
KBRI Den Haag Pantau WNI yang Sulit Periksa Kesehatan
Ilustrasi - Suasana di Den Haag, Belanda.(Dok. KBRI Den Haag)

KBRI Den Haag, Belanda terus memantau warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Negeri Kincir Angin tersebut untuk mengantisipasi penyebaran virus korona (Covid-19). Termasuk salah seorang WNI bernama Cut Dwi Septiasari yang sempat mengeluh tidak mendapatkan tindakan medis yang dibutuhkan lantaran sesak nafas yang dideritanya.

"Yang bersangkutan mengeluhkan sesak nafas/asma. KBRI terus memantau kondisi Mbak Cut," ujar Pejabat KBRI Den Haag, Fery Iswandi, Kamis (2/4).

Baca juga: Meski Ada Covid-19, Clubing Jalan Terus di Singapura

Menurut kebijakan di Belanda, terangnya, memang tidak semua orang bisa dites terkait Covid-19. Hanya mereka dengan keluhan berat dan kelompok rentan yang dapat dirujuk ke rumah sakit, sementara yang masuk kategori mild atau medium disarankan untuk karantina atau isolasi mandiri.

“Masyarakat bisa menelepon dokter untuk sampaikan kondisinya dan dokter yang akan memutuskan apakah perlu dirawat di RS atau isolasi/karantina mandiri,” lanjut Fery.

Jika diperoleh informasi adanya WNI yang mengalami permasalahan, termasuk kondisi kesehatannya, misalnya terpapar Covid-19, maka KBRI akan langsung menghubungi yang bersangkutan untuk memberikan bantuan.

“KBRI juga telah memberikan bantuan masker dan hand sanitizer kepada WNI yang membutuhkan melalui perwakilan masing-masing,” kata Fery.

Sebelumnya, seorang WNI bernama Cut Dwi Septiasari curhat di media sosial, mengeluhkan sesak nafas sekitar dua pekan. Sebagai tindakan pencegahan di tengah situasi Covid-19, ia mencoba memeriksakan diri ke fasilitas medis (huisartsenpost) namun tidak mendapatkan pelayanan yang ia butuhkan.

“Saya kontak ambulans, tapi karena saya dianggap bisa bicara dan menangis sama mereka tidak terlalu direspons cepat,” ujar Cut saat dihubungi Media Idonesia, Rabu (1/4). 

“Saya ke dokter (huisarts) dan ke fasilitas medis tapi ya disuruh pulang saja,” lanjut Lulusan Universitas Amsterdam itu.

Cut mengaku memang memiliki riwayat asma, namun belum pernah kambuh dalam 10 tahun terakhir. Ia hanya meminta diperiksa dokter secara menyeluruh, paling tidak dilakukan foto rontgen.

“Karena dada saya rasanya masih panas, nyeri. Sempat juga ada darah di ludah. Jadi saya khawatir. Tapi tetap tidak juga bisa rontgen oleh dokternya,” kata Cut.

Ia mengatakan sudah tahu dengan sistem kesehatan Belanda. Menurutnya, Huisartsen (dokter umum) memang terkenal selalu mengirim pasien pulang dari kunjungan pertama, dengan hanya memberi saran, misalnya, untuk beristirahat dan minum obat parasetamol.

“Istilahnya kita harus benar-benar sekarat agar huisarts meresepkan antibiotik atau mengirim ke dokter spesialis. Belanda tampaknya percaya bahwa kekebalan tubuh adalah obat segala penyakit, sebelum melakukan tindakan medis proaktif,” kata Cut.

“Intinya juga karena saya masih bisa menghubungi dokter, jadi saya dianggap masih bisa menangani sendiri. Padahal saya mau ditangani, tapi gak bisa. Mereka (dokter) memang nggak bisa apa-apa. Itu sudah kebijakan pemerintah. Dokter saya bilang begitu,” pungkasnya. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya