Tiongkok Jadi Negara Tertinggi yang Penjarakan Wartawan

Melalusa Sushtira Khalida
11/12/2019 21:52
Tiongkok Jadi Negara Tertinggi yang Penjarakan Wartawan
ilustrasi penjara(MI)

KELOMPOK pengawas pers menyebut setidaknya ada 250 wartawan dipenjara di seluruh dunia, Rabu (11/12). Dari jumlah tersebut, angka penahanan wartawan tertinggi disebutkan terjadi di Tiongkok, ketika penindasan terhadap media independen oleh rezim otoriter terus meningkat.

Laporan Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ), mengungkapkan banyak wartawan yang dipenjara karena dituduh anti pemerintah atau dituduh memproduksi berita palsu (hoaks).

Komite yang berbasis di New York, Amerika Serikat tersebut juga menyebut Turki, Arab Saudi, Mesir, Eritrea, Vietnam, dan Iran yang memenjarakan wartawan mereka.

Pengawas kebebasan pers mengatakan, pihaknya menghitung setidaknya 48 wartawan dipenjara di Tiongkok sejak 2018, saat Presiden Xi Jinping meningkatkan upayanya untuk mengendalikan media massa.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah Tiongkok mencoba membela kebebasan persnya dan mengatakan pemerintah Tiongkok hanya menjalankan aturan hukum.

Baca juga : Pentagon Bekukan Pelatihan untuk Militer Arab Saudi

"Tidak ada siapa pun yang dapat bertindak di atas hukum," terang Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying, Rabu (11/12).

Pada konferensi pers tersebut, Chunying justru balik menganjurkan kepada wartawan untuk memikirkan perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh 48 wartawan yang membuatnya dipenjara tersebut.

Setelah Tiongkok, Turki menjadi negara kedua tertinggi yang memenjarakan wartawan. Menurut laporan, ada sekitar 47 pewarta yang dipenjara. Laporan tersebut juga menyebut pada tahun lalu, ada 68 wartawan yang dipenjara di Turki.

Akan tetapi, turunnya angka pemenjaraan wartawan di Mesir tersebut bukan mencerminkan kondisi perbaikan. Melainkan, mencerminkan keberhasilan upaya oleh pemerintah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam memberangus laporan dan kritik independen.

Terkait hal tersebut, CPJ mengatakan pemerintah Turki telah menutup lebih dari 100 saluran berita. Pemerintah Turki juga disebutkan mengajukan tuduhan terkait teror yang dialami staf pemerintah, yang membuat banyak wartawan keluar dari pekerjaan mereka, serta melakukan intimidasi.

"Puluhan wartawan yang saat ini tidak dipenjara di Turki masih menghadapi persidangan atau banding dan masih bisa dijatuhi hukuman penjara. Sementara yang lain telah dihukum in absentia dan akan ditangkap jika mereka kembali ke negara itu," terang komite itu.

Laporan itu mengatakan otoriterisme, ketidakstabilan, dan aksi unjuk rasa di Timur Tengah menyebabkan peningkatan jumlah wartawan yang dipenjara di kawasan tersebut. Adapun Arab Saudi dan Mesir sama-sama menempati urutan ketiga pemenjaraan terburuk, dengan 26 wartawan yang dipenjara.

Di Arab Saudi, tidak ada tuduhan yang diungkapkan terkait pemenjaraan 18 wartawan di balik jeruji besi. CPJ juga menyatakan keprihatinannya atas laporan pemukulan, pembakaran, dan kelaparan tahanan politik, termasuk terhadap empat wartawan.

Sementara itu, beberapa penangkapan wartawan di Mesir terjadi menjelang demonstrasi besar pada bulan September lalu. Demonstrasi yang memprotes korupsi kronis dalam tubuh pemerintah Mesir tersebut, menyerukan agar Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengundurkan diri.

Para pegiat mengatakan total keseluruhan 250 wartawan yang dipenjara di seluruh dunia pada 2019, merupakan angka yang masih tinggi sekalipun terjadi penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Pada 2018, dilaporkan ada 255 wartawan yang dipenjara di seluruh dunia. Sedangkan pada 2016, menjadi rekor tertinggi dengan total 273 wartawan yang dipenjara di seluruh dunia.

Baca juga : Penerbangan Pesawat Listrik Komersial Pertama Dilakukan di Kanada

"CPJ meyakini bahwa wartawan tidak seharusnya dipenjara karena melakukan pekerjaan mereka," terang kelompok itu dalam laporannya.

Pernyataan tersebut mengutip kasus wartawan lepas Tiongkok, Sophia Huang Xueqin, yang ditangkap pada Oktober lalu. Xueqin dipenjara setelah menulis tentang gerakan demonstran pro-demokrasi di Hong Kong.

Selain itu, laporan tersebut juga menyoroti kasus wartawan ekonomi asal Mesir, Mohammad Mosaed. Ia ditahan setelah menulis dalam jejaring media sosial Twitter selama pemblokiran internet oleh pemerintah Mesir, yang dimaksudkan untuk menekan berita terkait demonstrasi yang memprotes kenaikan harga bahan bakar.

Secara global, jumlah wartawan yang dipenjara karena menghadapi tuduhan memproduksi berita palsu naik menjadi 30 wartawan, dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 28 wartawan.

Tuduhan memproduksi berita palsu tersebut tidak hanya disebutkan paling sering digunakan oleh pemerintah Mesir, namun juga oleh pemerintah Rusia dan Singapura untuk menangkap wartawan. (AFP/OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya