Jalanan Sunyi setelah Puluhan Anak Terbunuh

(AFP/Yan/I-1)
26/4/2019 04:40
 Jalanan Sunyi setelah Puluhan Anak Terbunuh
Kerabat membawa peti mati korban ledakan bom untuk upacara pemakaman di pemakaman di Negombo pada 24 April 2019(Photo by LAKRUWAN WANNIARACHCHI / AFP))

JALAN-JALAN Katuwapitiya di Sri Lanka tadinya penuh dengan suara anak-anak yang sedang bermain. Namun, setelah serangan mematikan Paskah, yang menewaskan sedikitnya 45 anak-anak, suara itu hilang.

"Jalan-jalan ini biasanya penuh dengan anak-anak bermain," kata Suraj Fernando, kakek salah satu korban yang berusia 12 tahun, Enosh. "Sekarang semua orang ada di dalam rumah karena mereka sedih dan takut."

Komunitas itu berada di Kota Negombo, tempat seorang pengebom bunuh diri menargetkan layanan Paskah di Gereja St Sebastian. Gereja ini ialah satu dari tiga gereja dan tiga hotel yang diserang, Minggu (21/4).

Hampir setiap jalan memiliki kisah kesedihan yang menghancurkan.

Anusha Kumari, 43, diubah oleh serangan itu. Kini ibu dua anak itu menjadi seorang janda yang berduka.

Dia kehilangan suaminya, Dulip, putranya yang berusia 13 tahun, Vimukthi, dan putrinya yang berusia 21 tahun, Sajeni.

"Kami ialah keluarga yang sangat dekat, tetapi sekarang hanya ada aku yang tersisa," katanya sambil menangis dan memukuli dadanya dengan sedih.

Badan anak-anak PBB, UNICEF, mengatakan sedikitnya 45 anak-anak tewas dalam ledakan hari Minggu dengan 27 di antaranya di Kota Negombo.

Di antara mereka ialah Shine Fernando yang berusia 13 tahun, yang dimakamkan Rabu sore.

Ayah Enosh yang bingung, Ranjeewa Silva, dengan telinga dan lengan kirinya berperban, terisak saat ia menunjukkan gambar binatang, mobil, pemandangan, dan matahari terbenam, bikinan putranya.

Dia mengenang seorang anak yang beruntung yang dicintai oleh semua orang. "Dia sangat cerdas dan kreatif. Dia mencintai sepak bola dan tahu semua pemain dari seluruh dunia. Favoritnya ialah Lionel Messi," kata Silva.

Anak-anak juga termasuk di antara mereka yang berkabung, termasuk saudara lelaki Enosh, Dimithra. "Kami selalu bermain bersama. Dia seperti sahabatku," kata pria jangkung berusia 15 tahun itu dengan lembut dengan senyum malu-malu. "Enosh selalu tampil di depan semua orang dan berpidato. Dia ialah anggota paling penting dari keluarga kami."

Penduduk setempat menggantungkan bendera putih di kebun rumah mereka di sepanjang jalan yang diapit pohon kelapa sebagai tanda penghormatan terhadap banyak warga yang tewas. "Hidup kita telah hancur," kata kakek Enosh, Fernando. (AFP/Yan/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya