Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

WNI di Hong Kong Berbondong-Bondong Gunakan Hak Pilih

Siti Yona Hukmana
14/4/2019 16:14
WNI di Hong Kong Berbondong-Bondong Gunakan Hak Pilih
Pemilih mengantre untuk mencoblos di Hong Kong.(Istimewa)

PEMUNGUTAN suara pendahuluan (early voting) Pemilu 2019 disambut antusias warga negara Indonesia (WNI) di Hong Kong. Mereka yang mayoritas adalah pekerja migran rela mengular demi memilih presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif untuk lima tahun ke depan.

Migrant CARE turut memantau penyelenggaraan pemilu di beberapa tempat pemungutan suara (TPS) di Hong Kong. TPS yang terpantau ada di Queens Elizabeth Stadium (Wan Chai) dan District Kai Fong Association Hall (Tsim Sha Tsui).

“Terdapat 16 tempat pemungutan suara di Queens Elizabeth Stadium dan 6 TPS di District Kai Fong Association Hall,” kata Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo dalam keterangan tertulis, Minggu (14/4).

Menurut dia, mengularnya antrean pemilih sejatinya sudah diprediksi sebelumnya dari data pemuktahiran daftar pemilih tetap (DPT) yang dikumpulkan panitia pemilihan luar negeri (PPLN) setempat. Namun, Migrant CARE menyebut ada beberapa kendala dalam pemungutan suara ini.

Baca juga: Dangdutan Ramaikan Pemungutan Suara di Houston

“Pertama, antusias calon pemilih kurang diimbangi dengan respon penyelenggara, misal dalam mengantisipasi daftar pemilih khusus (DPK),” ungkap Wahyu.

Dia menjelaskan di lapangan, tidak ada panitia yang memilah DPT dan DPK di antrean terluar. Hal ini menyebabkan calon pemilih DPK yang sudah mengantre sejak pagi harus keluar dan menunggu kembali pada waktu yang ditentukan, satu jam sebelum TPS ditutup.

Tata laksana TPS yang tertutup, kata dia, juga tidak memudahkan akses pemantauan. Bilik suara juga dinilai kurang nyaman karena ukurannya yang kecil dan berdempetan sehingga rentan menggerus asas kerahasiaan.

“Perlu dipertimbangkan pula efisiensi alur pemilih yang menunggu di TPS dan mengantre di front desk karena banyak bilik yang ksosong, tetapi pemilih menumpuk di antrean front desk. Lalu, ruang pengamatan saksi terbatas karena desain tata letak yang tidak sesuai dengan ketentuan sehingga proses pengawasan terbatas,” jelas dia.

Pelaksanaan pemilihan di Hong Kong juga menemukan kendala dari luar. Pasalnya, masih adanya dokumen pemilih yang ditahan majikan dan agen sehingga mereka tidak bisa menyalurkan hak pilih.

Limitasi durasi waktu libur, jelas Wahyu, membuat calon pemilih DPK terancam gugur hak pilihnya karena waktu yang terbatas. Beberapa calon pemilih juga takut mendaftar melalui mekanisme daring sebelumnya karena khawatir dokumen yang diunggah akan disalahgunakan.

“Bagi calon pemilih yang telah terdaftar melalui pos namun surat suaranya kembali (retur) terancam tidak dapat menggunakan hak pilih mereka karena minimnya informasi terkait kasus ini,” jelas dia.

Migrant CARE sebagai pemantau pemilu independen pun mendesak adanya opsi alternatif untuk mengakomodasi hak memilih pekerja migran Indonesia di Hongkong.

“Ini untuk menjamin hak politik pekerja migran Indonesia dan asas pemilu yang jujur dan adil,” tekan Wahyu. (Medcom/OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya