Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
PENDIDIKAN menjadi kunci untuk menciptakan hegemoni sosial yang harmonis serta menghadirkan kerukunan sejati untuk menjadikan Indonesia besar. Perbedaan di antara umat beragama menjadi kekayaan yang dapat dirangkum dengan pemahaman kurikulum cinta. Hubungan dengan lingkungan yang selaras diorkestrasikan dengan ekoteologi sebagai wujud nyata penyatuan manusia dan alam. Kementerian Agama melakukan transformasi melalui harmonisasi internal di antara umat beragama, alam, dan dengan Tuhan. Berikut perbincangan Media Indonesia dengan Menteri Agama Profesor Nasaruddin Umar mengenai ekoteologi, intoleransi, dan kurikulum cinta.
Pertama adalah kerukunan. Tanpa ada kerukunan, harmonisasi di antara sesama warga bangsa Indonesia, itu artinya tidak ada kemerdekaan sejati. Selama ada diskriminasi, selama ada kegiatan intoleransi, dan selama ada kekacauan, Indonesia itu tidak akan menjadi negara damai, negara bahagia, kan. Kebahagiaan itu artinya ketenangan, ketenangan itu artinya rukun. Kerukunan, ketenangan, harmoni hidup di antara sesama, itu visi besar kami Kementerian Agama. Jadi menyiapkan pangkalan pendaratan secara sosiologis untuk mendaratkan pembangunan-pembangunan infrastruktur yang hebat. Ya bagaimana kita bisa membangun Indonesia kalau negaranya tidak aman.
Coba kita lihat di Timur Tengah, enggak ada itu ketenangan, mau belajar konsentrasi tidak bisa, mau khusyuk salat juga enggak bisa. Kenapa? Karena senjata meledak di mana-mana. Tapi kalau kita nanti menciptakan hegemoni sosial yang sangat harmoni, orang semuanya bisa berprestasi tanpa saling mengusik satu sama lain. Maka, akumulasinya nanti Indonesianya besar. Jadi tidak ada Indonesia besar tanpa kerukunan yang sejati. Ini tantangan kami di Kementerian agama.
Harus mulai dari pendidikan. Tanpa pendidikan tidak mungkin, tidak bisa diselesaikan dengan instan, ya, kan. Tempat ini (konflik, misalnya) berhasil padam, muncul lagi di tempat yang lain. Kenapa? Karena mereka melihat orang itu sebagai saingan, sebagai musuh. Tapi kalau kita menganut falsafah cinta, itu engkau adalah aku, aku adalah engkau. Jadi kalau aku memberikan sesuatu terhadapmu, tidak akan pernah saya menyesal sebanyak apa pun karena aku adalah engkau. Jadi kalau saya menyakiti Anda, saya menyakiti diri saya sendiri. Engkau adalah aku.
Jadi rasa cinta itu muncul kepada semua termasuk alam semesta, tumbuh-tumbuhan, dan binatang. Segala sesuatu itu kita cintai. Jadi penekanannya itu kurikulum cinta. Itu bukan objeknya yang harus dicintai, tapi diri kita yang harus menjadi kualitas cinta; I am in love with you, bukan I love you. I love you objek yang dicintai, tapi kalau I am in love with you, saya dalam suasana cinta (misalnya) terhadap ibu saya. Walaupun keriput, ubanan, ompong, tapi itu ibu saya. Saya selalu melihat ibu saya sangat cantik, sangat indah, sangat membahagiakan, mendamaikan karena enggak ada lagi air mata tumpah nanti. Doa tengah malam. Jadi ibu saya membesarkan aku. Jadi saya dalam suasana cinta terus kepada ibu.
Jadi itulah (keinginan) kita akan bagaimana menciptakan suatu kualitas cinta kepada diri seseorang, sehingga apa pun (yang) dilihatnya, jadi indah, kan. Kalau nanti melihat kembang itu indah (karena) baru, berarti dia tidak mencintai yang layu yang membusuk di bawah kan. Dia enggak jadi cinta juga terhadap putik. Tapi kalau kualitas cinta yang bekerja, kalau cinta yang bekerja di sini, maka saya tidak akan maki-maki yang kembang membusuk gitu kan. Saya juga tetap memelihara sepucuk ini, walaupun tidak menyumbangkan keindahan, masih tersimpan di putik, ya kan. Nah, jadi saya harus menyamakan semua itu, cinta yang bekerja.
Nah, kalau kita melihat perbedaan di antara umat beragama, itu juga cinta yang bekerja. Mereka juga beribadah, kasihan (kalau) enggak ada rumah ibadah, beribadahnya gimana? Harus jalan kaki 3 kilo, harus naik mikrolet itu satu jam baru nyampe ke rumah ibadahnya. Kasihan. Jadi rasa cinta itu muncul, bukan lagi kebencian. Jadi mereka akan membangun rumah ibadah, misalnya, kalau perlu kita bantu, kasihan itu. Tapi sekali lagi, tadi itu jangan ada isu sampingan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan seperti apa yang sering diisukan, isu Kristenisasi, Islamisasi, dan seterusnya, jangan ada itu.
Ambillah pembelajaran berharga dari 17 Agustus ini. Semua agama meneriakkan ‘Merdeka’, memegang bendera Merah Putih. Jadi cara mereka, para pendiri bangsa untuk memperoleh kemerdekaan, apa yang harus kita lakukan sebagai pelanjut kemerdekaan sekarang ini, penikmat kemerdekaan ini? Ya, mari kita pelihara harmoni kehidupan bersama itu.
Jangan mengusik kemerdekaan ini dengan mempertontonkan intoleransi, mempertontonkan diskriminasi, kejahatan-kejahatan lain. Saya mengimbau kepada segenap warga bangsa, masyarakat Indonesia, mari manfaatkan event 17 Agustus ini untuk memutar, mengingat kembali memori kita itu bahwa dari segi logika susah Indonesia merdeka, bagaimana mungkin bambu runcing melawan senjata, bagaimana mungkin ketapel melawan jet tempur sekutu. Itu semua bisa terjadi karena ada persatuan dan kesatuan. Jadi persatuan dan kesatuan ini yang akan membahagiakan kita.
Kedua, saya juga memesankan, mari kita instrospeksikan diri. Jangan sampai nanti kita mendemonstrasikan kelebihan kita di tengah keprihatinan orang lain. Yang kaya jangan terlalu memamerkan kekayaannya. Itu akan memancing kecemburuan sosial. Orang yang punya power pemerintahan, jangan semena-mena, tapi bagaimana memberikan pengabdian terhadap mereka yang membutuhkan. Ketiga, mari kita kasihani masyarakat kita. Mari kita berbelas kasih terhadap mereka yang lemah. Jangan menyepelekan, jangan menelantarkan, sapalah mereka dengan sapaan yang bagus.
Nah, di sinilah saya ingin menggarisbawahi bahwa Pak Prabowo ini, menurut hemat saya, terlepas dari pimpinan saya, dia sudah berada pada on the right track. Karena program-programnya itu bukan elitis, tapi sangat merakyat. Ada Sekolah Rakyat bagi yang tidak bisa mengakses pendidikan, itu digratiskan dengan sekolah yang sangat memenuhi syarat. Ada orang enggak pernah memakan gizi lengkap itu diberikan gizi yang sangat besar.
Ada orang yang enggak bisa mengakses dunia pendidikan tinggi, maka diberikanlah Sekolah Garuda. Ada orang yang tidak punya pekerjaan dibikinkanlah Koperasi Desa Merah Putih. Dan, ada orang yang tidak bisa mengakses pekerjaan diusahakanlah pekerjaan. Inilah yang dilakukan oleh Pak Prabowo. Jadi sangat simetris apa yang kita jadikan sebagai visi dan apa yang dilakukan oleh Pak Presiden kita.
Ya pertama memang niat yang luhur untuk memperbaiki Kementerian Agama dari berbagai macam hiruk pikuk, kontroversi. Saya pertama membuat satu surprise ini, bahwa tidak boleh ada pemberian kepada Menteri Agama yang bukan haknya. Saya kembalikan amplop yang melampaui kuotanya, misalnya Rp4,5 juta mestinya, tapi dikasih Rp10 juta, saya kembalikan yang lain, itu bukan hak saya.
Kemudian ada di sini, di Masjid ini (Istiqlal), dikasih keranjang gede itu dari barang berharga dari Mekah, saya menduga ada kaitannya dengan haji. Saya langsung kembalikan ke KPK. Di mana-mana saya memberikan pengarahan di awal bahwa mulai periode saya, saya tidak akan tolerir siapa pun yang akan melakukan tindakan-tindakan koruptif, ya, kan. Apakah itu korupsi waktu, tidak datang ke kantor atau macam-macam lah, melanggar aturan itu kan korupsi juga.
Kemudian saya melakukan rolling, pejabat yang lama saya pindahkan ke tempat yang lain. Bahkan kami mengambil dari daerah-daerah yang mungkin pikirannya masih jernih, bersih. Jadi bukan hanya di Jakarta, tapi seluruh provinsi, ya kan. Kita kan jaringannya sampai KUA-KUA kan. Jadi, begitu ada laporan, ini ada penyimpangan, apakah penyimpangan susila, penyimpangan korupsi, penyimpangan malas, penyimpangan moral dan sebagainya, itu kami tidak toleransi.
Nah, ternyata tantangannya berat, ya. Saya juga difitnah macam-macam, tapi saya go ahead lah. Saya harus jalan. Kalau memang saya harus ada risikonya, apa pun ya, saya tidak takut, kecuali (kepada) Tuhan. Pak Prabowo memercayakan kepada saya yang lakukan bersih-bersih Kementerian Agama. Saya lakukan.
Jadi itu yang saya lakukan. Dalam tempo yang sangat singkat, karena teman kita, Kementerian Agama, itu kan basic-nya adalah baik, ya, kan. Jadi begitu kita memberikan satu contoh terhadap mereka, maka pada saat itu dia melakukan perbaikan diri dan teman-teman itu malah senang. Maka itu, terjadilah stabilitas kepegawaian di Kementerian Agama. Bahkan, saling melaporkan. Kalau ada hal-hal yang kurang baik, kami tindak lanjuti dan alhamdulillah sangat efektif, ya. Ternyata yang mayoritas itu di Kementerian Agama sudah lama mendambakan kepemimpinan seperti ini. Jadi begitu saya memberikan aba-aba dan sekaligus mencontohkan diri, ya langsung, ‘wah ini sudah lama kita nanti-nantikan’. Nah itu.
Alhamdulillah, tiga bulan pertama saya yang diminta lima kategori itu. Lima-limanya saya menjadi yang terbaik. Kemudian enam bulan berikutnya, alhamdulillah masih saya yang oleh media dianggap yang terbaik. Terakhir kemarin juga dapat award lagi. Jadi banyak sekali award yang kita peroleh sekarang. Ada internasional juga ya. Nah itu baik di Kementerian Agama maupun di Istiqlal. Istiqlal yang berubah total kan seperti yang Anda lihat itu, sangat total perubahannya. Alhamdulillah berkat doa dan usaha teman-teman juga.
Nah terus yang kedua juga, akhir-akhir ini saya mengembangkan kualitas Kementerian Agama menanggapi adanya semacam intoleransi di beberapa tempat. Saya berpikir kalau itu yang menyelesaikan di level bawah, level biasa, itu enggak mempan, selesai satu muncul lagi yang satu. Jadi saya mencoba untuk menjelaskan secara mendasar, ya kan. Jadi kami akan mengubah konsep teologi. Karena, kata Max Weber, tidak mungkin bisa mengubah sebuah perilaku tanpa mengubah sistem etos. Etos tidak bisa diubah tanpa mengubah sistem logos. Logos tidak bisa diubah tanpa mengubah sistem teologi. Karena agama itu punya tiga dimensi, dimensi teologi paling basic dalam hati, kan.
Kemudian artikulasi dari teologi, lahirlah logos-nya, ilmunya kan. Artikulasi di logos itu muncullah habitnya, perilakunya seperti sekarang. Nah tidak mungkin kita bisa menyelesaikan persoalan intoleransi itu di level praksis, di level etos. Maka, kita harus naikkan ke atas, naik lagi ke atas. Jadi kami mengembangkan teologi, ekoteologi. Ekoteologi itu artinya ekobumi, teologi Tuhan. Artinya, rasa cinta ini harus tumbuh secara komprensif kepada alam semesta, sesama manusia, dan Tuhan. Nah itu yang kita kembangkan, aslinya itu, membuat ekoteologi.
Jadi kita mengubah ini, melakukan transformasi, dari trilogi pertama menjadi harmonisasi internal agama antarumat beragama, dan dengan Tuhan. Jadi man, nature, and God, ya. Jadi itu. Nah, sedangkan (trilogi) yang dulu kan internal umat beragama, antarumat beragama, dan antarumat beragama dengan pemerintah. Jadi internal agama enggak ada isu, Muhammadiyah dan NU, misalnya, tidak ada masalah lagi kan. Antarumat beragama ada case, tapi itu kan kasuistik, bisa diselesaikan (secara) kasuistik. Dan pemerintahan juga tidak ada masalah. Tapi yang hikmat dalam keadaan sekarang ini ialah sesama umat manusia.
Kita pindah sekarang ke jilid dua, jadi harmoni antara man, nature, and God; sesama umat manusia, alam semesta, dan Tuhan. Jadi, kalau kita memopulerkan intoleransi moderasi, itu ada resistensinya. Pluralisme, kemudian juga deradikalisasi, itu resistensinya banyak. Jadi kita enggak mau mengusik, membangunkan macam tidur, ya, kan. Nah jadi kita pakai istilah lain, ekoteologi, dengan cara mengembangkan kurikulum cinta. Nah, banyak sekarang yang mengajar agama tapi mengajarkan kebencian antarsesama. Ini yang kita tidak inginkan. Jadi kita sisir kurikulum itu semuanya, karena kalau orang mengajarkan kebencian itu bukan mengajarkan agama, kebalikan agama yang diajarkan, ya, kan.
Jadi ada indoktrinasi kebencian antara satu dan yang lain. Apa jadinya negara plural seperti Indonesia ini kalau itu dibiarkan. Maka, kami mencoba untuk menghilangkan itu semuanya, dengan target kami di bawah usia 30 tahun. Jadi anak TK sampai mahasiswa S-3 lah, ya, karena kalau orang sudah di atas 30 tahun susah diubah, sudah terstruktur itu perbedaannya. Kita mau mencoba memperbaiki bangsa ini dari yang berusia 30 tahun ke bawah.
Bukan berarti akan menyamakan semua agama, enggak. Tapi kita akan mencoba membangun teologi cinta, ya, bagaimana perbedaan di antara agama-agama itu bukan membuat kita itu berbeda. Karena, falsafah kami, semakin dekat orang itu kepada agamanya, maka semakin kita akan melihat antara satu sama lain lebih mirip. Lebih gampang kita menemukan persamaan antara satu agama dengan agama lain daripada perbedaannya, kalau masing-masing mendalami agama. Tapi, kalau dangkal pemahaman keagamaannya, maka kita akan menemukan perbedaan antara satu agama dan agama yang lain itu sangat besar, ya, kan.
Jadi tantangan kita sekarang ini bagaimana memberikan penghayatan pendalaman terhadap agama kita masing-masing. Bukan hanya Islam, tapi semua agama. Jadi kurikulum cinta itu bukan hanya cinta antarsesama manusia tadi, tapi cinta juga alam semesta. Karena, kalau kita enggak menyelamatkan alam semesta, berarti dunia itu akan kiamat lebih dekat. Empat juta orang mati karena perubahan cuaca, 62 ribu orang mati karena perang. Jadi lebih banyak daya pemusnahnya kalau rusak alam ini daripada perang. Kita akan mengeliminir perang. Kita juga akan mengeliminir kerusakan lingkungan supaya nanti daya bunuhnya kurang terhadap manusia. Itu yang kita akan targetkan.
Jadi teologi ini luar biasa, ya, karena sedang viral. Saya terakhir dalam seminar internasional di Singapura melontarkan itu langsung. Saya diundang ke Vatikan, Kazakhstan, Afghanistan, Abu Dhabi, Turki, Malaysia, Amerika untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan ekoteologi, jangan-jangan itu yang dibutuhkan dunia masa depan Alhamdulillah, jadi kita mengekspor pemikiran ke luar. Suatu alternatif yang bisa menyelesaikan konteks global, ya, kan.
Perang tidak bisa dihentikan dengan bahasa politik, tapi kita mencoba untuk menggunakan religious diplomacy. Kami di sini (Masjid Istiqlal) mengundang duta besar asing. Terkumpul di sini ada 40 orang, dari Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Asia. Kita mencoba mendiskusikan ke depan itu bagaimana menyelamatkan dunia dan kemanusiaannya, dengan pendekatan bahasa agama, karena religious diplomacy itu kan bisa menembus batin. Kalau bahasa politik itu kan hanya menembus otak, ya, kan, jadi sekarang ini kita akan mencoba memperkenalkan religious diplomacy.
Diplomasi agama, kalau kita menyentuh lapisan bawah, lapisan teologi bahwa we are the same as a humanity, humanity is only one, there is no color, maka Insya Allah kita akan mendapatkan kedekatan satu sama lain. Jadi perbedaan agama, etnik, warga negara tidak menjadi soal karena we are the same as humanity. Kita sama-sama sebagai manusia. Itu yang kita akan kembangkan.
Nah ini yang sedang viral dan itu belum pernah sebelumnya diungkapkan, jadi kami dapat apresiasi dari pimpinan Gereja, pimpinan Hindu, Buddha, Katolik. Mereka mendukung sepenuhnya bahwa inilah yang pertama kita lakukan, dan kita berharap Indonesia memulai sesuatu menjadi trendsetter untuk pengembangan teologi sejuk. Jadi kita melakukan proses transformasi dari teologi maskulin kepada teologi feminine. Ini unik, kan, karena Tuhan kita kan lebih modern feminine, ya kan. Tuhan kita mahalembut. Nabi-Nya semua mahalembut. Qur’annya juga mahalembut, tapi umatnya supermaskulin. What’s wrong, itu pasti ada kan?
Semakin berjarak antara agama dan pemeluknya, semakin (nampak) ancaman kemanusiaan. Tapi semakin bersahabat orang dengan agamanya, maka semakin kriminalitas itu berkurang. Dampaknya nanti, kalau orang mendalami agamanya masing-masing, akhirnya kita akan sadar bahwa lebih baik orang itu berkumpul dalam rumah ibadah untuk memperdalam agama daripada mereka itu berkumpul di sudut-sudut jalan, jadi preman, menggarong, mengganggu orang. Jadi, kalau misalnya ada rumah doa, kenapa harus dibubarkan, bukankah itu nanti akan membuat orang itu lebih dalam kepada agamanya.
Lebih bagus mana, harus diperbanyak rumah doa atau rumah preman, ya kan. Akal sehat kita akan mengatakan, tentu rumah ibadah, dong. Karena makin beragama suatu masyarakat itu, semakin kurang kriminal. Semakin tidak beragama suatu masyarakat, maka semakin kriminalitasnya tinggi, kan. Nah, jadi jangan lagi ada yang menghancurkan rumah ibadah orang lain, karena itu kan berarti antikemanusiaan, berarti menoleransi dengan preman yang merajarela. Tapi sebaliknya kalau orang itu semuanya memperdalam agama di rumah ibadah masing-masing tanpa terusik, itu artinya kita berkontribusi untuk terwujudnya masyarakat religi. Kalau orang itu semua mendalami agama masing-masing, pasti akan aman.
Dan kita juga tentu tidak mau menoleransi adanya semacam isu Kristenisasi atau Islamisasi, karena itu kan juga rawan. Mari kita sepakat jangan ada offside. Offside itu artinya melanggar aturan. Tetap peraturan harus ada, kan. Karena kalau misalnya dibebaskan, orang semua melakukan kampanye keagamaannya secara eksklusif sampai menggarap orang yang sudah beragama. Maka, itu kan offside. Nah jadi jangan offside, itu kena semprit. Jadi yang kita akan lakukan itu betul-betul secara legal formal, tanpa ada kebohongan di antara kita. Jangan sampai nanti memanfaatkan hal ini, tapi melakukan sesuatu yang tidak disenangi oleh orang lain. Itu juga tidak boleh terjadi.
Itu yang kami lakukan sekarang ini. Kita akan menghidupkan, lebih mengaktifkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Jadi begitu kegiatan intoleransi muncul, maka yang pertama harus turun itu FKUB. Karena, kalau langsung polisi yang turun, main nangkap, kalau ditangkap, pasti pihak yang ditangkap itu terbakar dan yang lainnya tepuk tangan. Itu nanti akan memancing. Tapi kalau FKUB pendekatannya soft, jangan ada dendam, ini yang terbaik, belakangan baru polisi.
Jadi kita mulai kembangkan sekarang ini. Kita mulai menyelesaikan persoalan itu dengan FKUB, di-backup di belakang oleh polisi. Jangan polisinya ke depan, FKUB-nya enggak muncul. Selama ini kan terjadi seperti itu, muncullah isu diskriminasi. Diskiriminasi, ini melakukan kegiatan tidak diapa-apain, kita melakukan begini diapa-apain.
Tapi kalau FKUB yang turun kan, isu itu enggak ada, karena Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, keenamnya terlibat. Nah ini konsep kami. Jadi sangat konsepsional dan sangat didukung. Kemarin (beberapa waktu lalu) kami kumpulkan semua, seluruh Indonesia, FKUB. Dipimpin oleh kanwil-kanwil Kementerian Agama se-Indonesia. Kita kumpulkan mereka. Mereka sangat mendukung ekoteologi ini. Inilah cara, mungkin nanti akan lebih mempermanenkan, lebih mendasarkan, lebih strategis untuk menciptakan masa depan Indonesia damai. (Tia/Iam/H-2)
KPK mengungkap adanya dugaan manipulasi fasilitas yang diterima sejumlah jamaah haji dalam kasus korupsi kuota haji Kemenag
KPK menggeledah dua lokasi terkait dugaan korupsi pembagian kuota haji 2024 pada Rabu (13/8).
Penyidik KPK menyita sebuah mobil dan sejumlah dokumen dari penggeledahan terkait korupsi kuota haji
Dirjen Bimas Islam Abu Rokhmad, menjelaskan, regulasi ini bertujuan memastikan proses rekrutmen berjalan transparan, akuntabel, dan menghasilkan pengurus profesional.
KPK menyebut ada rapat antara pihak Kementerian Agama dengan asosiasi travel haji yang diduga untuk membahas kesepakatan pembagian kuota haji reguler dan khusus
MENTERI Agama (Menag) Nasaruddin Umar menegaskan bahwa Kementerian Agama akan bergerak cepat dalam menangani berbagai kasus intoleransi yang masih terjadi di sejumlah daerah.
Menag mendorong agar generasi muda perlu dibekali dengan pemahaman agama dan juga ilmu pengetahuan serta teknologi yang baik.
MENTERI Agama Nasaruddin Umar menekankan pentingnya peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam penyelesaian konflik berbasis agama. Bangsa yang besar adalah yang menghargai orang lain
MENTERI Agama Republik Indonesia secara resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (24/7/2025). Sebuah terobosan monumental dalam peta pendidikan nasional.
Menag Nasaruddin Umar menyampaikan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 bukan hanya momen politik, tetapi juga peristiwa spiritual.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved