Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Fenomena “Married Single Mom”: Ketika Pasangan Hadir di Rumah, Tapi Absen dalam Peran

Thalatie K Yani
14/8/2025 06:51
Fenomena “Married Single Mom”: Ketika Pasangan Hadir di Rumah, Tapi Absen dalam Peran
Ilustrasi(freepik)

Beberapa istilah seperti weaponized incompetence, default parent, mental load, hingga invisible load belakangan ramai diperbincangkan di media sosial. Semuanya menggambarkan ketimpangan pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga, di mana satu pihak, biasanya perempuan, memikul beban lebih besar.

Kini, muncul istilah baru: “married single mom” atau ibu tunggal yang menikah.

Istilah ini viral setelah beredar video seorang ibu yang kewalahan menggendong anak dan membawa barang-barang dari mobil, sementara seorang pria berdiri di dekatnya sambil memainkan ponsel, tanpa membantu sama sekali. Meski konteks video itu tidak jelas, momen tersebut memicu diskusi tentang pasangan yang secara hukum menikah, tetapi tidak berkontribusi dalam pengasuhan dan pekerjaan rumah.

Apa itu “married single mom”?

Konsep ini merupakan kelanjutan dari default parent, orang yang selalu menjadi penanggung jawab utama anak. Mereka yang mengurus janji dokter, mengambil cuti saat pengasuh membatalkan mendadak, hingga tetap menjadi rujukan anak meski pasangan lain sebenarnya ada di rumah. Bedanya, “married single mom” menyoroti pasangan yang secara konsisten absen, bahkan ketika sedang berada di rumah.

Dalam banyak kasus, pasangan ini berdalih tidak terlibat karena alasan pekerjaan atau “tidak tahu caranya”, contoh klasik weaponized incompetence. Akibatnya, seluruh tanggung jawab pengasuhan, pekerjaan rumah, dan beban mental jatuh pada satu pihak, sementara pasangan lain menikmati waktu luang.

Bukan soal pasangan kerja keras semata

Istilah ini tidak ditujukan untuk pasangan yang memang sedang bertugas di militer, bekerja dalam jadwal panjang, atau sekadar malas sesekali. “Married single mom” menggambarkan situasi kronis di mana satu pihak menjalankan peran orang tua sepenuhnya, meskipun pasangan ada secara fisik.

Tanda-tanda hubungan “single married”

  • Fenomena ini juga dapat terjadi di kedua pihak, tidak hanya pada ibu:
  • Hanya satu orang yang berusaha mempertahankan hubungan.
  • Pasangan lebih banyak menghabiskan waktu di luar atau dengan orang lain.
  • Komunikasi minim atau penuh konflik.
  • Tanggung jawab sosial dan keluarga dibebankan sepenuhnya pada satu pihak.
  • Keputusan besar diambil tanpa melibatkan pasangan.
  • Pernikahan terasa sekadar kewajiban sosial, tanpa rasa kebersamaan.

Mengapa bisa terjadi?

Penyebabnya beragam, mulai dari hubungan tanpa fondasi cinta, pengaruh pihak luar yang merusak, hingga masalah kepribadian seperti narsisme.

Langkah menghadapi

Ahli hubungan menyarankan untuk memprioritaskan diri sendiri. Opsi yang realistis:

  • Memperbaiki pernikahan agar menjadi hubungan yang setara dalam tanggung jawab dan kebersamaan.
  • Jika tidak mungkin, mempertimbangkan untuk mengakhiri hubungan yang menguras energi dan isolatif.
  • Terapi individu dapat membantu memahami situasi dan mempersiapkan langkah, diikuti terapi pasangan untuk mencari solusi atau keputusan terbaik.

Intinya, banyak orang berada dalam pernikahan yang secara emosional sendirian. Mengenali tanda-tandanya adalah langkah awal untuk keluar dari kelelahan tanpa akhir dan membangun kembali hidup yang sehat, dengan atau tanpa pasangan. (Parents/Iwilltherapy/Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya