Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Pemasaran Makanan tidak Sehat Ancam Anak Indonesia

Basuki Eka Purnama
10/7/2025 21:06
Pemasaran Makanan tidak Sehat Ancam Anak Indonesia
Ilustrasi(Freepik)

KEMENTERIAN Kesehatan bekerja sama dengan UNICEF dan Novo Nordisk tengah melakukan upaya advokasi untuk menciptakan lingkungan pangan yang lebih sehat guna mendukung pencegahan dan pengendalian overweight dan obesitas

Dalam rangka mendukung upaya tersebut, telah dilakukan berbagai studi dan kajian, yang hasilnya disampaikan melalui rangkaian kegiatan diseminasi. Kegiatan diseminasi pertama yang berlangsung secara hybrid, Kamis (10/7) membahas tentang “Pemasaran Makanan yang Tidak Sehat”.

Diungkapkan, angka kelebihan berat badan dan obesitas pada anak-anak di Indonesia terus menunjukkan tren meningkat. 

“Data terbaru Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat bahwa 19,7% anak usia 5–12 tahun dan 14,3% anak usia 13–18 tahun mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Di sisi lain, 97,6% anak usia 5–19 tahun tidak mengonsumsi lima porsi buah dan sayuran per hari seperti yang direkomendasikan, dan lebih dari 54,6% anak di kelompok usia tersebut mengonsumsi minuman berpemanis setidaknya satu kali setiap hari,” ujar Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi.

Menurutnya, salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap krisis ini adalah pemasaran makanan tidak sehat, khususnya melalui media digital dan media sosial.

Media Sosial Jadi Lahan Subur Iklan Makanan Tidak Sehat

Indonesia memiliki 167 juta pengguna media sosial aktif (60,4% dari populasi), menjadikannya pasar potensial bagi promosi makanan dan minuman tidak sehat. 

Para remaja tercatat sebagai kelompok pengguna internet paling aktif, dengan tingkat penetrasi internet mencapai 99,1% untuk usia 13–18 tahun (DataIndonesia, 2022). 

Kondisi ini menjadikan anak-anak dan remaja sangat rentan terhadap pengaruh promosi digital yang tidak sehat.

Dalam sebuah studi baru oleh UNICEF, dianalisis sebanyak 295 iklan media sosial dari 20 merek makanan dan minuman terkemuka yang dipublikasikan melalui Facebook, Instagram, dan X (Twitter). 

Empat kategori utama makanan yang diteliti adalah: makanan ringan, makanan olahan, minuman ringan, dan makanan cepat saji.

Strategi Pemasaran Digital yang Menargetkan Anak-anak

“Iklan makanan dan minuman tidak sehat yang tersebar di media sosial secara umum menggunakan berbagai teknik persuasif yang dirancang untuk menarik perhatian dan memengaruhi perilaku anak-anak. Teknik yang paling sering digunakan adalah penggunaan fitur khas media sosial, seperti tagar (hashtag) dan penandaan akun (tag), yang ditemukan pada 23,1% dari seluruh iklan yang dianalisis. Teknik ini memudahkan penyebaran konten secara luas dan cepat melalui jaringan sosial pengguna, termasuk anak-anak dan remaja,” papar Nutrition Specialist UNICEF Indonesia, David Colozza.

Selain itu, sebanyak 19,6% iklan menampilkan produk bermerek secara mencolok, baik dalam bentuk kemasan, logo, maupun penempatan produk secara visual. Tampilan yang konsisten ini secara tidak langsung membangun kesadaran merek dan loyalitas di kalangan anak-anak sejak usia dini.

Daya tarik emosional dan unsur kesenangan menjadi elemen penting dalam promosi, digunakan dalam 10,1% iklan. Teknik ini biasanya muncul dalam bentuk visual ceria, slogan positif, atau suasana menyenangkan yang dikaitkan dengan produk yang ditawarkan.

Menariknya, 9,0% iklan juga memanfaatkan gambar anak-anak dan remaja, baik sebagai pengguna produk maupun bagian dari cerita visual dalam konten iklan. Penggunaan visual ini menambah kesan bahwa produk tersebut “diperuntukkan” bagi kelompok usia yang sama.

Beberapa iklan, sekitar 6,9%, menggunakan alat bantu interaktif seperti ajakan untuk menyukai (like), berkomentar, atau membagikan (repost) konten. Teknik ini meningkatkan keterlibatan langsung anak-anak dengan konten promosi tersebut.

Tidak kalah signifikan, terdapat pula iklan yang menggunakan penawaran khusus, seperti diskon dan promosi beli satu gratis satu (BOGO), yang ditemukan pada 6,6% konten. Penawaran semacam ini terbukti mampu mendorong ketertarikan anak-anak dan keluarganya terhadap produk yang dipromosikan.

Dalam praktiknya, kategori makanan cepat saji paling sering menggunakan promosi seperti BOGO, untuk menarik konsumen muda. Sementara itu, minuman ringan menonjol dengan penggunaan visual anak-anak yang aktif dan gaya hidup ceria, menjadikan produk seolah-olah sesuai dengan dunia anak-anak yang penuh energi.

Mayoritas Produk yang Diiklankan Tidak Sesuai untuk Anak-anak

Analisis kelayakan gizi dari produk-produk yang diiklankan dilakukan berdasarkan standar Nutrition Profile Model dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hasilnya mengungkapkan bahwa dari 20 merek makanan dan minuman besar yang diteliti, sebanyak 85% di antaranya mempromosikan setidaknya satu produk yang tidak layak dipasarkan kepada anak-anak.

Mayoritas dari produk tersebut melebihi ambang batas kandungan gizi yang telah ditetapkan WHO. Sebanyak 96% produk mengandung gula total yang terlalu tinggi, dan seluruh produk (100%) mengandung lemak jenuh melebihi batas aman. Selain itu, 77% produk melampaui batas kandungan lemak total dan natrium, serta 100% produk mengandung kalori berlebih.

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena konsumsi makanan tinggi gula, lemak, dan garam secara terus-menerus dapat meningkatkan risiko obesitas pada anak, yang dalam jangka panjang akan memicu penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes tipe 2, hipertensi, dan penyakit jantung, bahkan sejak usia muda. 

Oleh karena itu, penanganan terhadap paparan iklan makanan tidak sehat menjadi urgensi nasional demi melindungi masa depan generasi muda Indonesia.

Anak-anak Rentan Terhadap Pengaruh Iklan Digital

Studi UNICEF menyoroti bahwa anak-anak umumnya tidak menyadari tujuan promosi dalam iklan, sehingga mereka lebih mudah terpengaruh oleh pesan-pesan persuasif. 

Penggunaan selebritas, ajakan emosional, hingga hadiah atau reward dalam konten iklan digital terbukti dapat membentuk preferensi makanan dan bahkan loyalitas terhadap merek, dengan dampak jangka panjang terhadap pola makan dan kesehatan anak.

Kesenjangan Regulasi Perlu Segera Diatasi

“Di Indonesia, regulasi mengenai iklan makanan tidak sehat masih dinilai lemah, terutama dalam pengawasan dan penegakan hukum di media digital. Kebijakan saat ini belum sepenuhnya mengatur aspek paparan (seberapa sering dan luas jangkauan iklan) maupun kekuatan pesan promosi (seberapa kuat strategi yang digunakan untuk memengaruhi perilaku anak),” kata David Colozza.

Untuk menghadapi meningkatnya risiko kesehatan anak akibat maraknya pemasaran makanan dan minuman tidak sehat, UNICEF dan Novo Nordisk menyampaikan serangkaian rekomendasi strategis yang bertujuan memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap anak-anak, terutama di era digital.

Rekomendasi pertama adalah memperkuat regulasi terhadap iklan makanan tidak sehat di platform digital, khususnya yang secara langsung menyasar anak-anak sebagai target konsumen. 

Saat ini, banyak konten promosi yang luput dari pengawasan karena celah dalam regulasi digital, sehingga penting bagi negara untuk mengembangkan kerangka hukum yang jelas dan tegas.

Selanjutnya, UNICEF dan Novo Nordisk mendorong penegakan pembatasan terhadap penggunaan influencer, hadiah, dan teknik persuasi lainnya dalam iklan yang beredar di media sosial. 

Teknik-teknik ini terbukti sangat efektif dalam menarik perhatian anak-anak, namun juga memiliki potensi besar dalam membentuk kebiasaan makan yang tidak sehat.

Rekomendasi ketiga adalah pengembangan Model Profil Gizi Nasional, yaitu sebuah standar ilmiah berbasis data yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi produk-produk yang tidak layak dipasarkan kepada anak. 

Model ini akan menjadi alat penting dalam membantu pemerintah, industri, dan masyarakat sipil mengenali dan mengelola risiko pemasaran makanan tinggi gula, garam, dan lemak kepada anak-anak.

Selain pendekatan kebijakan, UNICEF dan Novo Nordisk juga menekankan pentingnya peningkatan kesadaran publik, khususnya di kalangan orang tua dan pengasuh. 

Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai dampak iklan makanan tidak sehat, masyarakat dapat mengambil peran aktif dalam membimbing pola konsumsi anak yang lebih sehat dan seimbang.

Kemitraan Global untuk Masa Depan Anak yang Lebih Sehat

Sejak 2019, UNICEF menjalin kemitraan strategis dengan Novo Nordisk, perusahaan global yang bergerak di bidang layanan kesehatan, untuk mendorong terciptanya lingkungan makanan dan gizi yang lebih sehat bagi anak-anak di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Kolaborasi ini telah membuahkan hasil signifikan. Selama 2024 saja, kemitraan ini berhasil memproduksi 17 produk pengetahuan yang relevan dengan isu obesitas anak. 

Selain itu, mereka telah memobilisasi lebih dari 4.000 pengambil kebijakan dan 4.500 remaja dalam berbagai kegiatan advokasi strategis, menunjukkan pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan.

Dari sisi komunikasi, kemitraan ini menjangkau lebih dari 8,2 juta orang melalui berbagai platform informasi dan kampanye publik. Tidak hanya itu, lebih dari 48.000 anak telah menerima dukungan langsung melalui berbagai program intervensi yang dirancang untuk meningkatkan status gizi, edukasi kesehatan, dan pembentukan perilaku makan sehat.

Dampak kerja sama ini juga meluas ke tingkat global. UNICEF dan Novo Nordisk berkontribusi dalam memperkuat kebijakan pangan dan gizi nasional di Kosta Rika, Malaysia, dan Meksiko, yang secara keseluruhan menjangkau hampir 49 juta anak di bawah usia 19 tahun. 

Angka ini menunjukkan skala dan potensi besar kemitraan lintas negara dalam menciptakan masa depan yang lebih sehat dan adil bagi anak-anak di seluruh dunia. (Z-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya