Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berencana melanjutkan wacana standardisasi kemasan rokok untuk seluruh bungkus rokok yang beredar di pasaran. Kebijakan ini dinilai pelaku industri sebagai ancaman serius terhadap keberlangsungan usaha dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menjelaskan bahwa yang dimaksud bukanlah kemasan polos sepenuhnya, melainkan kemasan yang distandarkan.
"Jadi, mungkin yang kita pahami ya bahwa memang ada awalnya wacana untuk penerapan kemasan rokok yang polos ya. Tapi kalau kita kembali merujuk kepada PP 28 Tahun 2024 itu sebenarnya yang diharapkan itu adalah kemasan yang standar ya," ujarnya dalam program Kontroversi MetroTV beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan bahwa proses penyusunan kebijakan ini akan dilakukan melalui harmonisasi dan diskusi publik. "Tapi perlu diingat juga ada kewenangan pemerintah dalam memberikan perlindungan kesehatan kepada masyarakat," imbuhnya.
Namun, dari sisi industri, kebijakan ini dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi mempertanyakan legitimasi Kemenkes dalam mengatur aspek kemasan di luar peringatan kesehatan. Ia menegaskan bahwa tidak ada mandat eksplisit dalam regulasi yang memberi kewenangan tersebut.
Benny juga mengungkapkan bahwa draf awal yang diterima pelaku usaha mengarah pada kemasan polos, sementara draf terbaru yang memuat rincian standardisasi belum diterima. Ia menilai, bahkan jika hanya menyangkut warna, kebijakan ini tetap melanggar hak kekayaan intelektual.
"Karena di dalam kemasan itu kan ada terkandung desain ataupun hak cipta. Warna itu kan hak cipta," terang Benny.
Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang menyatakan bahwa merek dapat ditampilkan secara grafis, termasuk gambar, logo, nama, huruf, angka, dan susunan warna untuk membedakan produk. Menurutnya, penyeragaman kemasan rokok berpotensi menghapus identitas merek yang sah secara hukum.
Lebih lanjut, Benny menegaskan bahwa rokok masih merupakan produk legal yang boleh diproduksi, dipromosikan, dan dijual. Jika seluruh kemasan diseragamkan, konsumen akan kesulitan membedakan satu merek dengan yang lain, meskipun nama merek tetap dicantumkan dalam ukuran kecil.
Ia juga menolak perbandingan dengan negara-negara seperti Malaysia dan Singapura yang telah menerapkan kebijakan serupa.
"Kalau kita bandingkan Indonesia dengan Malaysia dan Singapura, jauh berbeda. Kita punya kebun tembakau, kita punya kebun cengkeh, kita punya industri yang banyak," tegas Benny.
Dengan ekosistem industri tembakau yang terintegrasi dari hulu ke hilir dan melibatkan jutaan tenaga kerja, kebijakan ini dinilai tidak hanya mengancam keberlangsungan usaha, tetapi juga bertentangan dengan semangat perlindungan terhadap industri nasional dan kedaulatan ekonomi. (E-3)
Setiap negara memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk regulasi, termasuk mempertimbangkan aspek ekonomi dan ketenagakerjaan.
Kemasan standar yang dimaksud tidak menghapus logo dan merek, melainkan hanya menyeragamkan elemen seperti warna, informasi kesehatan, dan kadar kandungan.
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes Benget Saragih mengatakan saat ini tengah diupayakan dalam hal pengendalian rokok lewat standardisasi kemasan rokok.
Di tengah upaya jajaran Kemenkes untuk terus mendorong pembahasan Rancangan Permenkes, Merrijantij mengungkapkan, hingga saat ini, Kemenperin belum dilibatkan secara resmi oleh Kemenkes.
Indonesia berpotensi kehilangan Rp308 triliun dari kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang saat ini tengah dibahas di Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan.
Seruan moratorium atau menghentikan sementara kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan semakin menguat.
Penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur aspek strategis Industri Hasil Tembakau (IHT) menuai penolakan keras dari kalangan pekerja.
Desakan untuk membatalkan pasal-pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pengamanan Zat Adiktif semakin menguat.
Pemerintah kembali menuai kritik tajam atas implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Penolakan terhadap pasal-pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus menguat.
Fasilitas ini menjadi pabrik produk tembakau bebas asap pertama milik PMI di Asia Tenggara dan yang ketujuh di dunia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved