Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Setara Institute Sebut Fadli Zon tak Punya Empati soal Pemerkosaan Mei 1998

Ihfa Firdausya
16/6/2025 15:52
Setara Institute Sebut Fadli Zon tak Punya Empati soal Pemerkosaan Mei 1998
Sejumlah warga etnis Tionghoa memperlihatkan makanan rujak pare saat mengikuti tradisi ritual rujak pare bunga kecombrang dan doa di Boen Hian Tong, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (17/5/2025)(ANTARA FOTO/Makna Zaezar/rwa.)

KETUA Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi menyebut Menteri Kebudayaan Fadli Zon tidak punya empati terhadap korban. Fadli mengatakan pemerkosaan massal yang terjadi pada Mei 1998 tidak ada bukti. 

Penyataan Fadli, kata Hendardi bertentangan dengan pernyataan resmi negara melalui Presiden BJ Habibie, Penyelidikan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Investigasi dan Temuan  Komnas HAM dan  Komnas Perempuan, berbagai studi ilmiah, serta laporan pendampingan yang dilakukan oleh masyarakat sipil.

"Fadli Zon harus menarik berbagai ucapannya yang menyangkal pemerkosaan massal dan pelanggaran HAM masa lalu serta segera meminta maaf kepada publik, khususnya para korban dan keluarga mereka," kata Hendardi dalam keterangannya, Senin (16/6).

Ia pun menyoroti bahwa pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan sangat berambisi untuk melakukan penulisan ulang sejarah Indonesia. Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ditargetkan rampung sebelum peringatan HUT Kemerdekaan ke-80 pada 17 Agustus 2025.

Tim penyusun sudah dibentuk yang dipimpin oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Prof Susanto Zuhdi sebagai penanggung jawab utama.

Menurut Hendardi, proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia ini sangat problematik dan potensial digunakan oleh rezim penguasa untuk merekayasa dan membelokkan sejarah bangsa sesuai dengan kehendak dan kepentingan politik rezim.

"Publik tentu masih mencatat dengan sangat baik bahwa sejarah perjalanan bangsa, khususnya yang terkait dengan kelahiran Pancasila dan tragedi 1965, pernah diupayakan untuk direkayasa dan dibelokkan Rezim Orde Baru melalui penulisan sejarah versi Rezim yang dipimpin oleh Nugroho Notosusanto," paparnya.

"Narasi yang sejauh ini disampaikan oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan terkait dengan penulisan ulang sejarah Indonesia hampir semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi dan muslihat  alias ngawur, misal terkait dengan statement menyangkal tragedi pilu pemerkosaan massal pada 1998," imbuhnya.

Secara substantif, lanjutnya, Kementerian Kebudayaan tidak memiliki otoritas menentukan narasi sejarah perjalanan bangsa. Jika pemerintah memiliki niat baik untuk menyusun buku sejarah, ujarnya, itu dikoordinasikan oleh kementerian yang mengurusi pendidikan, entah itu Kemendikdasmen atau Kemendiktisaintek.

Menurutnya, tidak ada kondisi obyektif yang menunjukkan kemendesakan dan kedaruratan sehingga penulisan ulang sejarah ini mesti selesai sebelum 17 Agustus 2025.

"Hal tersebut justru menguatkan kesan publik bahwa di balik proyek ini terdapat ambisi politik rezim untuk merekayasa dan membelokkan sejarah, memanfaatkan ungkapan 'Sejarah adalah Milik Kaum Pemenang'," tegasnya.

Oleh karena itu, kata Hendardi, pemerintah sebaiknya mengurungkan ambisi untuk mengada-ada dengan merekayasa dan membelokkan sejarah perjalanan bangsa secara insinuatif dan tergesa-gesa. Perlu dialog panjang, mendalam, dan inklusif terkait dengan fakta sejarah yang harus diakomodasi dalam buku pembelajaran sejarah. (H-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indriyani Astuti
Berita Lainnya