Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
SEJARAH itu seperti foto diri. Kita hadir dalam lakon pemotretan itu, merasakan silau lampu dan arahan sang juru kamera. Namun, tatkala cetakan foto hadir di tangan, kita justru raib dari sana. Barangkali terpinggirkan oleh guntingan fotografer yang kejam atau mungkin memang sengaja dienyahkan demi sebuah komposisi yang dianggap lebih elok. Metafora ini sekadar menggambarkan betapa di sana paradoks mengintai: kita adalah bagian dari yang diabadikan, tapi tak terjejak dalam keabadian itu sendiri. Sebuah ironi yang menggelayuti setiap narasi tentang masa lalu.
Kegelisahan ini seakan mendapatkan jawabannya melalui kesalahan fatal Menteri Kebudayaan yang terang-terangan mengatakan bahwa Tragedi Mei 1998 yang mana pemerkosaan massal terhadap perempuan etnik Tionghoa itu hanya rumor belaka. Tentu saja ini sontak menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan terutama kelompok perempuan.
Kita sudah lama tahu, sejarah dalam hakikatnya bukanlah sekadar deretan tahun dan nama dan bukan sekadar deretan fakta yang beku, melainkan sebuah jalinan narasi yang senantiasa hidup, berdialog dengan waktu, dan membentuk kesadaran kolektif. Ia adalah cermin yang memantulkan identitas sebuah bangsa sekaligus medan pertarungan atas makna dan ingatan.
Dalam pusaran inilah muncul pertanyaan mendasar: siapa yang berhak mengukir kisah masa lalu dan sejauh mana sebuah narasi tunggal dapat mengeklaim kebenaran yang final? Lantas, apa makna penolakan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) terhadap penulisan uang sejarah resmi Indonesia itu?
Pertanyaan ini kembali mengemuka di tengah polemik seputar rencana penyusunan ulang 'sejarah resmi Indonesia' oleh Kementerian Kebudayaan, sebuah inisiatif yang alih-alih merajut ingatan justru memicu perdebatan sengit tentang hakikat sejarah itu sendiri tentang kebebasan menafsir dan tentang jiwa sebuah bangsa yang terus mencari dirinya dalam lintasan waktu.
Isu ini menyoroti betapa sensitifnya penulisan sejarah bagi sebuah bangsa karena sejarah bukan hanya catatan masa lalu, melainkan juga fondasi identitas dan pemahaman kolektif suatu bangsa. Oleh karena itu, setiap upaya untuk merevisi atau menulis ulang sejarah resmi selalu menjadi perhatian serius bagi banyak pihak.
ANATOMI SEBUAH PROYEK: 10 JILID DAN KEKOSONGAN YANG TERSEMBUNYI
Proyek penyusunan ulang sejarah resmi Indonesia ini, yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan, merupakan sebuah upaya monumental yang direncanakan akan terwujud dalam sepuluh jilid dan ditargetkan selesai pada Agustus 2025 tepat Indonesia berusia 80 tahun.
Skala ambisius ini mencakup rentang waktu yang luas dengan jumlah bab bervariasi di setiap jilidnya. Beberapa jilid, seperti jilid 2 dan hilid 8, dirancang paling ringkas dengan empat bab, sementara jilid 9 menjadi yang terpanjang dengan delapan bab. Namun, di balik rancangan ini, terkuaklah narasi-narasi yang terputus, kekosongan yang mencolok, dan pilihan-pilihan yang memicu tanda tanya besar.
Fokus perhatian banyak pihak tertuju pada jilid 9, yang bertajuk Orde Baru dan mencakup periode krusial 1976-1998. Delapan bab yang menyusun jilid ini meliputi: lahirnya Orde Baru; pembangunan ekonomi, pembangunan demokrasi pancasila; pendidikan; pembangunan dan perubahan sosial; wawasan Nusantara dan NKRI; reaksi terhadap pembangunan; serta kebudayaan.
Namun, di sinilah kejanggalan mulai tampak. Dalam bab ketujuh, yang membahas 'reaksi terhadap pembangunan' hanya tercantum dua peristiwa: insiden Tanjung Priok 1984 dan Peristiwa Talangsari Lampung 1989. Narasi tentang reaksi terhadap pembangunan ini, secara mengejutkan, 'berhenti sampai di situ'.
Keanehan semakin kentara ketika bab kedelapan, yang seharusnya menjadi penutup jilid ini, beralih ke topik-topik budaya seperti kongres kebudayaan, festival film Indonesia, sastra, seni, pers, dan media massa. Akibatnya, periode yang sangat menentukan dalam sejarah modern Indonesia, yaitu krisis moneter 1997, aksi mahasiswa, tuntutan dan agenda reformasi, peristiwa kerusuhan anti-China, hingga momen krusial turunnya Soeharto pada 1998, sama sekali tidak ditemukan dalam jilid ini. Ini adalah sebuah peniadaan yang mencolok, terutama jika dibandingkan dengan buku teks sejarah yang saat ini digunakan di sekolah-sekolah yang secara eksplisit membahas peristiwa-peristiwa tersebut.
Upaya untuk mencari narasi yang hilang ini pada jilid 10 pun berujung pada kekecewaan. Jilid 10 dalam draf naskah tersebut justru dimulai dengan pemerintahan BJ Habibie pada 1999, secara efektif melompati seluruh periode transformatif 1997-1998. Menteri Kebudayaan memang telah mengonfirmasi bahwa kementeriannya tengah mengerjakan updated version sejarah Indonesia. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: mengapa periode yang begitu fundamental bagi identitas dan perjalanan bangsa ini justru diabaikan dalam sebuah narasi resmi?
Penghapusan peristiwa-peristiwa penting seperti krisis moneter 1997, gerakan Reformasi, dan transisi kekuasaan 1998 dari jilid 9 dan 10 bukan sekadar kelalaian, melainkan sebuah tindakan yang secara strategis membungkam titik balik krusial. Peristiwa-peristiwa ini menandai keruntuhan rezim Orde Baru, gelombang protes publik yang meluas, dan pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan.
Kehilangannya dari narasi resmi mengisyaratkan upaya disengaja untuk membersihkan, meremehkan, atau menghapus kisah akhir yang bergejolak dari sebuah rezim. Hal ini dapat dipandang sebagai sebuah usaha untuk menghindari konfrontasi dengan kebenaran yang tidak nyaman mengenai kekuasaan negara, salah urus ekonomi, dan kerusuhan sosial sehingga berpotensi melegitimasi warisan Orde Baru atau menghindari pertanggungjawaban atas kegagalannya.
Lebih jauh, ketidaksesuaian antara narasi yang diusulkan ini dan buku teks sejarah yang saat ini digunakan di sekolah-sekolah menciptakan sebuah diskoneksi yang signifikan. Peristiwa-peristiwa yang dihilangkan tersebut secara eksplisit ada dalam kurikulum yang diajarkan kepada generasi muda.
Perbedaan ini berpotensi menimbulkan disonansi kognitif di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda yang telah mempelajari versi peristiwa yang berbeda. Ini memunculkan pertanyaan tentang tujuan sebuah sejarah 'resmi' jika ia bertentangan dengan narasi yang diterima secara luas atau diajarkan.
Upaya untuk menggantikan narasi yang ada dengan yang lebih selektif menunjukkan adanya agenda untuk membentuk kembali ingatan kolektif. Ini bukan hanya tentang akurasi historis, melainkan juga tentang mengendalikan persepsi publik dan berpotensi memengaruhi wacana politik di masa depan dengan mendefinisikan ulang masa lalu.
POIN-POIN PENOLAKAN: MENGGUGAT INGATAN, MENIMBANG NARASI
Mengapa AKSI menolak proyek ambisius ini? Penolakan itu muncul karena beberapa kekhawatiran yang mana dalam proses atau substansinya mengandung problematika serius. Di antaranya: pertama, hilangnya sejumlah peristiwa penting. Salah satu kritik utama adalah kekhawatiran bahwa versi baru sejarah resmi akan menghilangkan atau mengurangi porsi pembahasan mengenai peristiwa-peristiwa krusial. Gerakan Mahasiswa 1998 dan momen-momen yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di masa lalu sering disebut-sebut sebagai contoh peristiwa yang dikhawatirkan akan 'dihilangkan' atau 'dikecilkan' perannya.
Kedua, sentralisasi narasi. Ada kekhawatiran bahwa penulisan ulang ini bertujuan menyentralisasi narasi sejarah yang diinginkan pemerintah yang berpotensi mengabaikan perspektif dan pengalaman beragam dari berbagai kelompok masyarakat. Hal ini yang akan menghilangkan perspektif yang beragam dalam sejarah.
Proyek pemerintah ini justru menegaskan adanya motif tersembunyi yang dikhawatirkan berujung pada penyeragaman narasi, bahkan menghilangkan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan kepentingan tertentu. Kalau tujuannya hanya melengkapi, hal itu bisa dilakukan melalui penerbitan buku-buku sejarah alternatif, riset, atau bahkan penambahan bab.
Namun, jika namanya 'penulisan ulang sejarah nasional', ini memberikan kesan akan ada pemaksaan narasi tunggal yang berpotensi membelokkan sejarah demi kepentingan kekuasaan. Sejarah tidak pernah berhenti ditulis dan diteliti oleh para sejarawan dan akademisi secara terus-menerus. Temuan-temuan baru, perspektif yang berkembang, itu semua sudah menjadi bagian dari dinamika historiografi.
Ketiga, kurangnya keterbukaan dan partisipasi. Proses penyusunan yang dianggap kurang transparan dan minim partisipasi publik dari berbagai ahli sejarah independen, akademisi, dan masyarakat sipil juga menjadi sorotan. Kritik ini menyuarakan perlunya keterbukaan sejarah dan melibatkan lebih banyak pihak dalam proses penyusunannya. Narasi trauma, dari Peristiwa 65 hingga Reformasi adalah esensi kebenaran dlm sejarah kekerasan kita. Jika pemerintah mencoba memasukkannya ke dalam 'proyek sejarah' dengan narasi 'kemalangan' yg menyingkirkan faktualitas, itu bukan sekadar penulisan ulang, itu adalah penghapusan fakta secara paksa (factual disappearance).
Sebagai pengamat militer yang menginginkan TNI profesional, saya melihat ini sebagai ancaman serius. Militer yang profesional hanya bisa terbentuk di atas fondasi kebenaran dan akuntabilitas. Jika trauma sejarah ini didistorsi atau dihilangkan, itu sama saja dengan membiarkan luka lama membusuk tanpa penanganan sekaligus memutarbalikkan tanggung jawab. Ini akan semakin menyulitkan upaya membangun TNI yang bersih dan berintegritas karena bayang-bayang masa lalu yang belum terselesaikan akan terus menghantui.
Keempat, motif politik. Pertanyaan yang perlu diajukan ialah siapakah pihak yang paling diuntungkan dari proyek penulisan ulang sejarah resmi ini ?Apakah rezim yang berkuasa, pihak-pihak yang memiliki agenda politik tertentu, atau rakyat? Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejarah sering kali menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Dengan menguasai narasi sejarah, mereka bisa membentuk pemahaman publik sesuai yang diinginkan, menjustifikasi tindakan, atau bahkan 'memutihkan' citra dari kesalahan masa lalu. Ini bukan tentang keilmuan sejarah, melainkan tentang penguasaan narasi demi kepentingan politik. Sebagian pihak menduga bahwa penulisan ulang ini memiliki motif politik tertentu, terutama dalam upaya 'meluruskan' atau 'mengamankan' citra pihak-pihak tertentu pada masa lalu, atau untuk kepentingan narasi kekuasaan saat ini. Kecenderungan ini sulit disangkal jika mencermati muatan narasi yang ada dalam draf pemerintah, misalnya menghilangnya 10 pelanggaran HAM berat masa lalu dari daftar 12 pelanggaran HAM berat yang sudah diakui oleh rezim sebelumnya.
PENOLAKAN: SEBUAH ALARM DARURAT, SEBUAH JEDA UNTUK REFLEKSI
Penolakan ini pada dasarnya bukanlah jaminan akan adanya solusi konkret yang instan, melainkan sebuah tuntutan fundamental untuk refleksi. Ia berfungsi sebagai rem darurat, memaksa laju proyek untuk dihentikan agar memberikan ruang bagi evaluasi ulang yang mendalam. Ia adalah seruan untuk menimbang kembali arah, tujuan, dan implikasi dari sebuah narasi sejarah yang berpotensi menyesatkan, bahkan hingga pada pertimbangan untuk membatalkan proyek itu sendiri demi menjaga integritas ingatan kolektif bangsa.
Dalam menatap cermin sejarah, kita kerap menemukan pantulan pelajaran berharga dan glorifikasi berlebihan yang dengan sengaja menyingkirkan narasi kekalahan dan duka. Hal itu bukan hanya melukai integritas ingatan kolektif kita, melainkan juga menjebak kita dalam ilusi yang berbahaya, sebuah bangsa yang enggan berhadapan dengan bayang-bayang masa lalunya, dan karenanya tak pernah benar-benar belajar dari dalamnya.
Penolakan proyek penulisan ulang sejarah resmi Indonesia oleh sebagian besar masyarakat sipil perlu dilihat sebagai sebuah alarm agar dihentikan dan sebuah jeda untuk refleksi.
Ketua Harian DPP Partai Gerindra juga meminta jangan ada pihak-pihak yang menuduh macam-macam. Misalnya, penulisan sejarah ini merupakan kepentingan penguasa.
PENELITI senior BRIN Lili Romli menyayangkan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon tentang tidak adanya bukti yang kuat terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998.
KOALISI Masyarakat Sipil mengecam keras pernyataan Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menyatakan bahwa tidak ada bukti dalam pemerkosaan massal Mei 1998.
KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal pemerkosaan massal Mei 1998 tidak tepat.
Proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia ini sangat problematik dan potensial digunakan oleh rezim penguasa untuk merekayasa dan membelokkan sejarah sesuai dengan kepentingan rezim.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved