Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
SEBUAH studi internasional terbaru mengungkapkan alasan ilmiah mengapa pria dan wanita mengalami risiko, gejala, serta hasil kesehatan yang berbeda dalam menghadapi berbagai penyakit.
Penelitian yang dipimpin oleh tim dari University of London ini menyoroti perbedaan biologis mendasar yang memengaruhi respons tubuh terhadap penyakit berdasarkan jenis kelamin.
Bekerja sama dengan Berlin Institute of Health di Charité, Universitätsmedizin Berlin, dan Unit Epidemiologi Dewan Penelitian Medis (MRC) di Universitas Cambridge, hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Nature Communications.
Para ilmuwan menganalisis data genetik dari lebih dari 56.000 pria dan wanita melalui Biobank Inggris dan Studi Fenland, mencakup hubungan antara sekitar 6.000 protein dan ratusan penyakit.
Tim peneliti menemukan bahwa sekitar dua pertiga dari protein yang diteliti menunjukkan kadar yang berbeda antara pria dan wanita. Namun, ketika mereka menelusuri lebih dalam ke penyebab genetiknya, hanya sekitar 100 protein yang ternyata diatur secara berbeda berdasarkan jenis kelamin.
Temuan ini sangat penting dalam pengembangan obat dan terapi medis yang lebih personal. Meskipun perbedaan kadar protein terlihat jelas, penyebabnya tidak sepenuhnya berasal dari perbedaan genetik, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lain.
Penelitian ini menegaskan pentingnya mempertimbangkan faktor di luar genetika, seperti hormon, lingkungan kerja, kondisi tempat tinggal, tingkat pendidikan, kondisi ekonomi, akses terhadap layanan kesehatan, dan gaya hidup. Semua faktor ini turut memengaruhi perbedaan risiko dan hasil kesehatan antara pria dan wanita.
“Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita dapat mempelajari biologi manusia dengan detail tinggi—dari gen hingga protein. Ini adalah studi terbesar yang pernah dilakukan untuk memahami bagaimana kode genetik memengaruhi kadar protein dalam darah berdasarkan jenis kelamin. Temuan ini menunjukkan perlunya pendekatan medis yang lebih adil dan personal bagi setiap individu,” jelas Peneliti utama dari Queen Mary's PHURI, Mine Koprulu.
Dalam studi ini, data dikategorikan sebagai laki-laki atau perempuan berdasarkan informasi kromosom (XX atau XY). Para peneliti menyadari bahwa informasi kromosom tidak selalu mencerminkan identitas gender seseorang.
Namun, karena fokus studi ini adalah analisis genetik dan protein, kategorisasi berdasarkan kromosom diperlukan untuk keakuratan hasil ilmiah. Data tentang identitas gender tidak tersedia secara konsisten sehingga tidak dapat digunakan secara menyeluruh dalam analisis ini.
Penelitian ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana perbedaan jenis kelamin memengaruhi kesehatan.
Dengan memahami lebih dalam tentang perbedaan biologis dan faktor sosial, diharapkan pengembangan perawatan dan kebijakan kesehatan ke depan akan semakin inklusif dan tepat sasaran. (ScitechDaily/Z-10)
Berdasarkan data pada 2023, terungkap Kalimantan Barat hanya memiliki dua sistem MRI dengan jumlah penduduk mencapai 5 juta jiwa.
Memperingati Hari Kanker Paru-Paru Sedunia, sebuah seminar kesehatan bertajuk Kenali Kanker Paru Sejak Dini digelar.
Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 35,4% penduduk dewasa Indonesia mengalami obesitas, dengan angka tertinggi tercatat di DKI Jakarta (43,2%).
Pemerintah Singapura telah melarang penggunaan vape karena penambahan zat berbahaya seperti Etomidate ke dalam alat penguap elektronik itu menimbulkan bahaya serius pada penggunanya.
KETUA Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama menyoroti usulan anggota DPR RI agar ada gerbong kereta api khusus untuk perokok.
Pentingnya penguatan data kesehatan, khususnya penyakit zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan dan unggas) serta pemantauan malnutrisi, agar kasus serupa dapat dicegah sejak dini.
Gaya hidup sehat dari calon ayah penting demi menjaga kualitas sperma yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan pembuahan.
Journal of the American Heart Association mengungkapkan fakta mengejutkan: sindrom "patah hati" atau kardiomiopati takotsubo justru lebih mematikan bagi pria.
Para ilmuwan menemukan penurunan risiko ini mungkin berbeda antara pria dan perempuan. Jadi siapa yang perlu berolahraga lebih banyak?
Sindrom patah hati bukan hanya istilah puitis. Sebuah studi medis terbaru membuktikan bahwa kondisi ini benar-benar bisa menyebabkan kematian—dan pria ternyata jauh lebih rentan.
Pria dalam penelitian ini, 45,4 persen diklasifikasikan sebagai penderita obesitas, dan hampir sepertiga memiliki kondisi pradiabetes 29,2% dan prahipertensi 31,1%.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved