Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Parental Abduction, saat Orangtua yang Kalah Hak Asuh Pisahkan Paksa Anak dengan Ibu atau Ayahnya

Ihfa Firdausya
11/2/2025 17:06
Parental Abduction, saat Orangtua yang Kalah Hak Asuh Pisahkan Paksa Anak dengan Ibu atau Ayahnya
Para ibu korban parental abduction atau penculikan anak oleh orangtua yang tak memegang hak asuh.(Dok. MI)

ISU penculikan anak oleh salah satu orangtua atau parental abduction mungkin belum begitu familiar dan banyak dibahas di Indonesia. Namun, kasusnya sebenanrnya bukan tak sering terjadi.

Kasus parental abduction merupakan tindakan merebut anak dari pihak yang memenangkan sidang hak asuh anak di pengadilan. Tindakan merebut itu kerap dibarengi dengan upaya paksa untuk miliki hak asuh penuh dan melakukan pemisahan secara paksa anak dengan salah satu orangtua yang memenangkan hak asuh resmi.

Parental abduction atau penculikan anak oleh orangtua yang tak mendapatkan hak asuh anak sudah relatif sering terdengar. Termasuk kasus-kasus yang menimpa beberapa seleb, seperti Maia Estianti dan Tsania Marwa.

Di banyak negara dengan sistem hukum lebih ketat dan maju seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, kasus parental abduction tidak lagi dianggap sebagai hal yang remeh. Pihak yang melanggar putusan pengadilan terkait hak asuh bisa diseret ke ranah pidana dengan ancaman hukuman yang tidak main-main.

Lalu sebenarnya bagaimana aturan soal parental abduction di Tanah Air?

Pakar hukum pidana Ahmad Sofian mengatakan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2024 tentang pasal 330 KUHP menyatakan parental abduction (penculikan anak oleh orang tua kandung) sebagai tindak pidana penculikan. Sebelum ada putusan MK tersebut, pasal 330 itu ditafsirkan oleh pengadilan bahwa jika yang membawa lari anak tersebut adalah orang tua kandung, itu bukan tindak pidana.

"Setelah tanggal 3 September 2024 melalui keputusan MK 140 PUU 2023, membawa lari anak kandung oleh salah satu orangtua kandung, yang mana orangtua kandung tersebut bukan pemegang hak asuk anak berdasarkan keputusan pengadilan tetap, itu adalah tindak pidana," jelas Sofian dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (11/2).

Namun hingga saat ini, katanya, keputusan MK itu masih belum ditaati. Menurut Sofian, setelah ada keputusan MK tersebut pemerintah harusnya segera melakukan revisi terhadap UU Perlindungan Anak dengan memasukkan pasal bahwa membawa lari anak yang dilakukan oleh salah satu orang tua kandung yang bukan pemegang hak asuk anak adalah tindak pidana.

Apalagi KUHP pasal 330 saat ini yang menjadi objek gugatan terkait parental abduction tidak akan tidak berlaku lagi tahun depan. Pasalnya KUHP baru akan berlaku per 2 Januari 2026.

"Artinya putusan MK itu jadinya tidak berlaku lagi karena yang di-review adalah pasal 330 KUHP yang berlaku saat ini. Tahun depan kan tidak berlaku lagi. Karena itu pemerintah yang sekarang ini harus segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak untuk memasukkan ketentuan itu," paparnya.

Selain itu, Sofian menyebut selama ini di banyak kasus, pemegang hak asuk anak  hanya menang di atas kertas. Pengadilan tidak bisa melaksanakan eksekusi atas keputusan pengadilan berkekuatan tetap.

"Misalnya, si ibu dimenangkan oleh pengadilan sampai dengan Mahkamah Agung sebagai pemegang hak asuk anak. Anak masih berada di tangan bapak. Si ibu minta kepada pengadilan agar memindahkan anak tersebut. Tapi pengadilan mengatakan, 'kami tidak punya mekanisme bagaimana melaksanakan keputusan pengadilan jika objeknya adalah anak'," paparnya.

Karena itu pascaputusan MK di atas, kata Sofian, harusnya Mahkamah Agung sadar untuk segera membuat Peraturan Mahkamah Agung tentang tatacara melaksanakan keputusan pengadilan berkekuatan tetap, ketika pemegang hak asuk anak sudah ditentukan ada pada ibu atau ada pada bapak.

Selain itu pascaputusan MK tersebut, Sofian mengatakan Indonesia juga harus meratifikasi Konvensi Den Haag 1980 tentang Aspek Sipil Penculikan Anak Internasional. Hal itu berkaitan dengan membawa lari anak yang dilakukan oleh pasangan secara internasional karena kawin campur antarwarga negara.
(Z-9)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya