Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Pengamat: Upaya Mitigasi Bencana Harus Lebih Konsisten dan Berkelanjutan

Ihfa Firdausya
22/1/2025 21:26
Pengamat: Upaya Mitigasi Bencana Harus Lebih Konsisten dan Berkelanjutan
Foto udara suasana banjir merendam Desa Kedungboto, Beji, Pasuruan, Jawa Timur, Rabu (22/1/2025)(ANTARA/Umarul Faruq)

PENGAMAT kebencanaan Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Teuku Alvisyahrin menyebut semua stakeholder harus lebih siap siaga menghadapi ancaman bencana. Termasuk bencana hidrometeorologi yang saat ini tengah melanda sejumlah wilayah di Indonesia.

Menurutnya upaya-upaya mitigasi harus lebih konsisten dan berkelanjutan. Hal itu mempertimbangkan kondisi iklim tropis basah di Indonesia di mana curah hujan relatif tinggi sepanjang tahun.

Belum lagi adanya perubahan iklim yang juga menyebabkan peningkatan intensitas curah hujan.

Kemudian pendistribusian curah hujan juga tidak merata. Kadang-kadang dia hanya terfokus pada satu tempat tapi dengan intensitas sangat tinggi. Sementara di tempat lain agak rendah bahkan tidak mendapat curah hujan.

"Ini realita dari Sabang sampai Merauke. Sekarang yang mendapat cobaan saudara-saudara kita di Jawa Tengah, di Banjarnegara, Grobogan, Pekalongan, dan sebagainya. Ini juga bisa ke tempat lain karena kita masih dalam siklus musim penghujan. Menurut para ahli klimatologi itu bisa sampai April menjelang masuk musim kering berikutnya," papar Alvisyahrin saat dihubungi, Rabu (22/1).

"Makanya ini kita harus lebih siap siaga. Upaya-upaya mitigasinya harus lebih konsisten, berkelanjutan. Tidak hanya baru melakukan langkah-langkah mitigasi pada saat sudah kejadian," imbuhnya.

Terutama hal itu untuk melihat realita kondisi alam. Dalam hal ini, katanya, para ahli geofisika bisa melakukan kajian-kajian ancaman atau bahaya bencana di wilayah yang sudah atau sebelumnya pernah terjadi.

Di wilayah dengan tingkat kerentanan lingkungan yang tinggi, kata Alvisyahrin, bisa dilakukan sejumlah kebijakan seperti relokasi penduduk ke tempat yang lebih aman. 

"Pilihan untuk relokasi penduduk dari wilayah bencana secara efektif dapat dilakukan setelah adanya kajian ancaman/bahaya bencana (hazard) dan risiko bencana ke depan, yang mana hasilnya menunjukkan adanya ancaman dan risiko bencana tinggi. Kalau ancaman dan risiko bencana ke depan rendah, maka relokasi tidak perlu dilakukan," jelasnya.

Kemudian strategi mitigasi secara fisik antara lain memperkecil kerentanan lingkungan itu sendiri. Ia mencontohkan potensi longsor dan sebagainya bisa diperkecil dengan melakukan upaya-upaya teknis.

"Khususnya salah satu yang sangat penting adalah memastikan bahwa di hulu di bagian lereng yang tinggi, tanaman-tanaman penutup tanahnya itu, tanaman-tanaman besar, tetap dipertahankan. Jangan sampai ada penggundulan hutan dan sebagainya karena ini adalah salah satu bagian dari peran negatif manusia itu mempercepat terjadinya bencana," ungkapnya.

Dari sisi alam, ia mencontohkan, memang ada faktor curah hujan yang tinggi, perubahan iklim, cuaca ektrem. Namun manusia juga berkontribusi misalnya dengan perusakan-perusakan alam, baik di hutan, tutupan lahan, maupun di hilirnya seperti tidak menjaga kebersihan lingkungan dan saluran drainase.

"Intinya mitigasinya harus merupakan bagian dari keseharian kita di berbagai tempat dengan berbagai jenis ancaman bencana," katanya.

Adaptasi dan Mitigasi

Jika relokasi tidak menjadi pilihan, kata Alvisyahrin, maka pilihannya adalah adaptasi dan mitigasi. Perlu ada hal-hal yang dilakukan secara proaktif untuk memperkecil risiko bencana. Di sisi masyarakat misalnya terkait kebersihan lingkungan, kesiapsiagaan mandiri, keluarga, maupun desa.

"Karena pada saat bencana sudah mendekat, kalau banjir dan longsor ini relatif bisa ada early warning-nya. Ini tentu bagian dari pemerintah tidak bisa dilaksanakan masyarakat. Ini juga satu hal yang perlu ditingkatkan ke depan," ujarnya.

Peringatan dini misalnya untuk curah hujan yang tinggi biasanya sudah bisa dideteksi oleh radar. "Jadi BMKG bagaimana bisa memberikan informasi yang lebih cepat kepada masyarakat di wilayah yang ada potensi bencana," paparnya.

"Sehingga ada waktu untuk melakukan evakuasi. Mendekatnya bencana ini tentu indikatornya adalah early warning sistem," imbuhnya.

Peringatan dini dengan kearifan lokal juga bisa digalakkan kembali di desa-desa. Alvisyahrin mengatakan dulu setiap desa punya suatu cara tersendiri untuk, misalnya, memberi tahu bahwa hujan di hulu sudah deras.

"Apakah sekarang masih diterapkan sistem kentongan dan lain-lain, ini perlu kita kaji kembali. Tapi yang mungkin lebih efektif adalah teknologi terutama teknologi prakiraan cuaca buat saya ini perlu diefektifkan," katanya.

"Tapi juga bagaimana nantinya menyalurkan informasi kepada pengambil keputusan di wilayah masing-masing sampai ke desa. Ini satu hal yang perlu kita tingkatkan. Kemudian kesiapsiagaan di tingkat desa juga kabupaten/kota untuk merespons bencana ini dengan adanya rencana kontigensi. Ini perlu disiapkan," pungkasnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya