PEMERINTAH Republik Indonesia bekerjasama dengan United Nations Population Fund (UNFPA) dan Yayasan Khouw Kalbe akan memberikan 250 beasiswa kepada anak perempuan yang menjadi korban perkawinan anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga berharap kerja sama ini dapat meningkatkan efektivitas, koordinasi, dan kerja sama dalam upaya mencegah perkawinan anak.
"Dukungan beasiswa ini juga menjadi salah satu solusi dalam mendukung pendidikan anak-anak kita yang berpotensi melakukan perkawinan anak, sekaligus untuk terus melaksanakan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) di Indonesia,” ujar Menteri PPPA dalam keterangannya, Jumat (24/2).
Menurut Menteri PPPA, isu perkawinan anak adalah isu yang rumit dan multisektoral. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2020, 8,19% perempuan Indonesia menikah pertama kalinya di usia antara 7-15 tahun.
Diperlukan sinergi dan kolaborasi dari para pemangku kepentingan untuk menurunkan perkawinan anak agar anak dapat tetap bersekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka
“Perkawinan anak merupakan salah satu tindak kekerasan terhadap anak dan praktik pelanggaran hak-hak dasar anak,” tutur Bintang.
Lebih lanjut, Menteri PPPA mengatakan, perkawinan anak dapat memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah, dan kanker serviks bagi anak. Dampak dari perkawinan anak, kata dia, tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, tetapi juga akan berdampak pada anak yang akan dilahirkan serta berpotensi memunculkan kemiskinan antargenerasi.
Sementara itu, UNFPA Indonesia Representative, Anjali Sen menyampaikan bahwa pendidikan merupakan wujud perlindungan dan faktor kunci bagi perempuan dan anak perempuan untuk mempertahankan hidup mereka dari kemiskinan.
Selain itu, imbuhnya, pendidikan merupakan upaya pemberdayaan perempuan dan anak perempuan dalam mencapai potensi penuh mereka.
“Semakin tinggi pendidikan anak perempuan, semakin kecil kemungkinan ia menikah sebelum usia 18 tahun dan memiliki anak pada masa remajanya. Ketika perempuan dan anak perempuan diberdayakan, mereka dapat mengembangkan potensi dan diri mereka sepenuhnya,” kata Menteri PPPA.
Anjali mengungkapkan, selain mendukung anak perempuan tetap bersekolah dan mencapai potensi penuh mereka, kemitraan UNFPA Indonesia dan Yayasan Khouw Kalbe ini akan berkontribusi pada pencapaian tiga hasil transformatif, yaitu mengakhiri kematian ibu yang dapat dicegah; mengakhiri kebutuhan keluarga berencana yang tidak terpenuhi; dan mengakhiri kekerasan berbasis gender dan praktik berbahaya, termasuk perkawinan anak.
Sementara itu Direktur Yayasan Khouw Kalbe, Irawati Setiyadi mengatakan, kerja sama antara UNFPA dan Khouw Kalbe yang didukung oleh Pemerintah Indonesia akan diimplementasikan di 10 wilayah di Indonesia di antaranya Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Maluku, dan Papua.
“Kerja sama ini diharapkan membantu pelaksanaan Stranas PPA dengan memberikan hak pendidikan pada mereka. Yayasan Khouw Kalbe fokus bekerja di area pendidikan karena kami percaya bahwa pembekalan pendidikan pada perempuan kelak tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk keluarga dan masyarakat sekitarnya,” pungkas Ira. (H-2)