Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
PADA 28 Oktober 1928, Bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa persatu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkumpulnya para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia yang sedang berkumpul untuk Sumpah Pemuda menjadi tanda resminya Bahasa Indonesia.
Lebih tepatnya pada unsur ketiga dari Sumpah Pemuda yakni ‘Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.’ Dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga disebutkan bahwa bahasa negara kita adalah Bahasa Indonesia.
Baca juga: Pembagian Zaman Batu, Ciri-ciri, dan Peninggalannya
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kedudukan Bahasa Indonesia
- Lambang kebanggaan Indonesia.
- Lambang identitas nasional.
- Alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya.
- Pemersatu suku budaya dan bahasanya.
Perkembangan Bahasa Indonesia
- Bahasa pemersatu pada 28 Oktober 1928.
- Bahasa resmi negara dalam pasal 36 UUD 1945, tanggal 18 Agustus.
- Bahasa internasional yang dicanangkan dalam Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28 Oktober-1 November 2018.
(OL-6)
PENELITI senior BRIN Lili Romli menyayangkan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon tentang tidak adanya bukti yang kuat terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998.
Menurutnya, pengingkaran terhadap peristiwa tersebut adalah bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.
Proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia ini sangat problematik dan potensial digunakan oleh rezim penguasa untuk merekayasa dan membelokkan sejarah sesuai dengan kepentingan rezim.
Pegiat HAM Perempuan Yuniyanti Chizaifah menegaskan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998
Djarot mengatakan penulisan sejarah seharusnya berdasarkan fakta, bukan berdasarkan kepentingan politik. Maka dari itu, ia mengingatkan agar sejarah tidak dimanipulasi.
KETUA DPR RI Puan Maharani menanggapi rencana Kementerian Kebudayaan untuk menjalankan proyek penulisan ulang sejarah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved