BERDASAR data dari Badan Pangan Dunia (FAO), harga pangan bergizi di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara. Harga pangan bergizi di Indonesia mencapai US$4,47 atau sekitar Rp69 ribu per hari. Angka itu lebih tinggi ketimbang antara lain Thailand US$4,3, Filipina USD4,1, Vietnam US$4 dan Malaysia US$3,5.
Akhirnya, menurut sebuah survei, hampir 68% penduduk Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan bergizi tersebut. Hal itu kemudian disebut sebagai salah satu faktor terhambatnya pengentasan stunting di Indonesia.
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyatakan hal yang perlu dipahami masyarakat ialah makanan bergizi tidak perlu mahal. Pasalnya, Indonesia memiliki berbagai sumber pangan lokal yang harganya dapat dijangkau masyarakat.
"Harga pangan naik dan relatif mahal itu tentu terkait dengan adanya inflasi kemudian juga ketersediaan pangan yang ada. Tapi pada prinsipnya saya mengajak, kesempatan harga pangan yang mahal itu untuk mengubah mindset bahwa kita tidak harus tergantung pada satu jenis makanan yang sementara harganya naik," kata Hasto saat dihubungi, Rabu (14/12).
Ia menilai, pencegahan stunting itu tidak mahal. Asalkan, orangtua dan calon orangtua tidak hanya berpatokan untuk mendapatkan protein dari hewan berkaki empat. Ada banyak makanan yang memiliki gizi tinggi dan harganya murah. Misalnya saja telur ayam.
"Kalau mereka punya balita harus beli susu. Itu semua itu salah. Yang benar ya stunting itu dicegah dengan telur sudah bisa. Sehari satu telur. Kalau telur hari ini 1 kilogram Rp32 ribu, maka sebulan sebetulnya hanya butuh Rp50 ribu untuk memberikan telur sehari satu. Sudah cukup," beber dia.
Baca juga: Target Stunting 14 Persen, Kemenkes Terapkan Pendekatan Gizi Spesifik
Selain itu, protein juga bisa didapatkan dari ikan lele yang harganya murah dan bahkan bisa dipelihara sendiri di sekitar rumah.
Adapun, BKKBN telah mengedukasi kepada masyarakat luas bahwa pengentasan stunting tidak harus berasal dari pangan yang harganya mahal.
"Menurut saya kenapa harus beli mi, kenapa tidak beli telur saja. Kenapa harus beli makanan pabrikan? Kenapa harus membeli susu yang ada tulisannya untuk umur sekian bulan, sekian bulan. Kenapa harus beli bubur yang tulisannya khusus untuk anak usia sekian? Mendingan buat bubur sendiri karena ada petunjuknya. Produk lokal kita sudah ada. Daun kelor murah. Itu sudah cukup," beber Hasto.
"Mari kita melakukan revolusi pola makan yang lebih sederhana, murah tapi bergizi," pungkas dia.(OL-5)