Kemajuan teknologi digital dan transportasi abad ke-21 telah menjadikan ruang geografis yang sebelumnya menjadi kendala perjumpaan lintas budaya dan bangsa terlampaui. Sejarawan dan antropolog telah menunjukkan bahwa perkembangan sistem sosial dan budaya masyarakat manusia dalam catatan sejarahnya merupakan produk persinggungan lintas budaya, baik melalui perdagangan, kolonialisme, dan migrasi akibat perang, bencana, dan keinginan memperbaiki kehidupan suatu kelompok masyarakat atau individu.
Dapat dikatakan bahwa migrasi adalah kekuatan yang membentuk tatanan sosial, budaya, dan politik masyarakat manusia sekarang dan sebuah global melting-pot di masa depan adalah sebuah kemungkinan. Kajian Dennys Lombart tentang Jawa sebagai sebuah persimpangan dengan lapisan-lapisan nebula budaya yang menyebabkan budaya awal yang orisinal tidak mungkin dapat ditelusuri lagi, memberi gambaran menarik tentang bagaimana mobilitas manusia dan perjumpaan budaya berpengaruh besar terhadap perkembangan sebuah sistem sosial dan budaya.
Di dalam kenyataan ini, ada sejumlah persoalan yang menjadi perhatian banyak pihak. Kalangan aktivis HAM, telah menyoroti nasib pekerja migran yang menjadi sosok rentan korban perdagangan manusia (trafficking) akibat lemahnya mekanisme perlindungan hak-hak mereka. Begitu juga dengan meningkatnya sentimen rasisme di Eropa Barat akibat gelombang kedatangan pengungsi dari benua Afrika dan Timur Tengah.
Kenyataan ini menunjukkan bagaimana konflik-konflik di suatu negara memiliki imbas terhadap negara tetangga atau negara yang lebih makmur secara ekonomi. Konflik yang terjadi di Myanmar telah memunculkan persoalan bagaimana penanganan para pengungsi Rohingya yang sekarang mencari suaka di Indonesia.
Di lain sisi, ilmuwan sosial juga mulai tertarik mengangkat tema tentang bagaimana mobilitas manusia menghasilkan sebuah persinggungan lintas budaya melalui pekerjaan dan perkawinan dengan keberadaan diaspora-diaspora (Indonesia) di berbagai dunia. Begitu juga dengan sirkulasi komoditi budaya, seperti dalam kasus demam ikon-ikon budaya populer Korea di Indonesia dan negara lainnya, turut menjadi perhatian bagaimana straregi kebudayaan pemerintah Korea dapat menjadikan budaya populer mereka diminati dalam lingkup global.
Pertanyaannya adalah metode dan perangkat konseptual seperti apa yang dapat menangkap kekayaan masalah dalam perkembangan-perkembangan baru yang terjadi? Bagaimanakah kecenderungan arah penelitian yang berkembang di dalam tema ini? Bentuk persinggungan budaya baru seperti apa yang sekarang ini muncul? Apa konsekuensi yang muncul bagi tatanan sosial dan budaya masyarakat Indonesia kontemporer?
Keseluruhan pertanyaan ini—meski tidak terbatas hanya pada pertanyaan itu—menjadi pijakan bagi pelaksanaan 2nd International Conference on Social and Political (2nd ICOSOP) yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Sosial dan Politik (PKSP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional., pada Rabu (26/10).
Tujuan dari diselenggarakannya ICOSOP adalah sebagai media pertemuan dan pertukaran informasi dan pengetahuan antara speakers, presenters dan peserta yang terdiri dari akademisi, praktisi, peneliti, pembuat kebijakan, aktivis, dosen, dan mahasiswa.
Selain itu sebagai sarana sosialisasi dan identifikasi tingkat pemahaman serta keterlibatan dan perhatian peserta konferensi terhadap masalah-masalah kontemporer yang penting sesuai tema dan subtema konferensi. “Tujuan lainnya adalah mengembangkan jejaring riset dan kerjasama lainnya dalam bidang sosial dan politik,” ujar Ketua pelaksana konferensi Dr. Andi Achdian, M.Si, Sabtu (22/10).
Konferensi ini antara lain akan menghadirkan pembicara Timo Duile, MA, Ph.D, Department for South East Asian Studies, Bonn University Germany, Prof. Dr. Ayu Saraswati, Department of Women, Gender and Sexuality Studies, University of Hawai’i, Manoa, Christoper Kelly, Co-founder & Head of Research, Rame-Rame Jakarta Foundation MSc Geography, King's College London, dan Prof. Datuk Dr. Shamsul Amri Baharuddin Founding Director, Istitue of Ethnic Students (KITA), The Nasional University of Malaysia. Sementara dari Universitas Nasional diwakili Prof. Dr. Syarif Hidayat, MA, Prof. Dr. Paisal Halim, Dr. Erna Ermawati Chotim, M. Si, dan Prof. Dr. Ernawati Sinaga, MS, Apt selaku pembicara kunci. (M-3)