Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Kepalaran dan Kurang Gizi Masih dari Pekerjaan Rumah di Indonesia

M. Ilham Ramadhan Avisena
18/8/2022 14:54
Kepalaran dan Kurang Gizi Masih dari Pekerjaan Rumah di Indonesia
Kader Posyandu mengukur panjang balita untuk mendeteksi stunting pada balita.(MI/PALCE AMALO)

CENTER for Indonesia Policy Studies (CIPS) menyatakan, kelaparan dan malnutrisi masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Tingkat malnutrisi di Tanah Air dinilai relatif tinggi dan perlu untuk segera ditangani.

Merujuk data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2019, sebanyak 16,29% balita di Tanah Air mengalami gizi kurang, 27,67% mengalami stunting, dan 7,44% mengalami wasting (kurus).

Kondisi itu kemudian dinilai bertambah berat ketika pandemi covid-19 merebak di Indonesia. Dari laporan UNICEF, pagebluk telah meningkatkan persoalan gizi di Tanah Air akibat naiknya beban berat fasilitas kesehatan, terganggunya rantai pasok makanan, dan persoalan perekonomian.

Di 2021, kembali merujuk data SSGBI, prevalensi stunting di Indonesia mencapai 5,22 juta. Sedangkan 45% rumah tangga yang ada di Indonesia didapati kesulitan untuk menyediakan makanan bernutrisi di meja makannya.

"Jadi meskipun terjadi penurunan angka stunting tahunan sebesar 2% dari 2013 ke 2021, sebanyak 27 provinsi di Indonesia masih dikategorikan sebagai daerah gizi kronis, di mana stuntingnya lebih dari 20%, dan wasting lebih dari 5%," ujar Kepala Peneliti Bidang Pertanian CIPS Aditya Alta dalam webinar bertajuk Menuju Kemerdekaan dari Kelaparan dan Malnutrisi, Kamis (18/8).

Baca juga: Indonesia Masih Hati-Hati Belum Cabut Status Pandemi

Untuk itu, pemerintah didorong untuk terus mempromosikan pangan sehat, bergizi seimbang, dan aman. Aditnya mengatakan, hal itu memerlukan kombinasi kebijakan perdagangan, edukasi konsumen, regulasi keamanan pangan, hingga peranan pihak swasta seperti melalui penerapan ESG.

Hal yang juga tak kalah penting ialah melakukan peninjauan terhadap dampak kebijakan ketersediaan pangan dan pola konsumsi masyarakat. Sebab, diversifikasi pangan di Tanah Air tergolong cenderung lambat.

Itu karena beras masih mendominasi ketersediaan pangan nasional. Sementara jagung dan olahannya, kacang-kacangan, dan umbi-umbian terus mengalami penurunan porsi konsumsi sejak 2011.

"Indonesia tidak mengalami masalah ketersediaan pangan, karena jumlah kalori yang tersedia per orang terus meningkat setiap tahun. Tapi yang menjadi soal adalah diversifikasi asupan pangan," tutur Aditya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya