Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
DOKTER Spesialis Penyakit Dalam dr Zubairi Djurban menilai perlunya penelitian mendalam dan kerja sama seluruh pihak jika ganja atau cannabis bermanfaat mengobati penyakit tertentu sehingga bisa dimanfaatkan untuk masyarakat.
"Untuk di Indonesia tentu harus dikaji lebih dalam apakah ada manfaatnya untuk kejang, apakah ada manfaatnya untuk cerebral palsy atau sebagainya," kata Prof Zubairi saat dihubungi, Jumat (1/7).
Ada banyak dokter yang bisa mengaitkan ini terutama spesialis bedah saraf, farmakologi, dokter anak hingga dokter penyakit dalam. Perlu juga dari sisi izin kalau nilai manfaat dan bukti ilmiahnya kuat dari Badan POM.
"Dari sisi undang-undang juga harus diperbaiki, dari sisi legislatif dan saling kait mengait sehingga tidak hanya ada satu badan saja yang memutuskan," ungkapnya.
Cannabis atau ganja berbahaya jika dikonsumsi berlebihan, seperti membuat pengguna mengalami halusinasi, malas, gangguan berpikir, kesehatan mental karena kambuhnya gejala psikosis, risiko kanker paru-paru, sistem imun melemah dan sebagainya. Karena sudah diketahui sejak lama sehingga hampir semua negara di dunia melarang ganja atau cannabis.
"Di Indonesia sudah dinyatakan bahwa ganja termasuk narkotika dan tidak boleh digunakan untuk pengobatan," imbuhnya.
Saat ini, di beberapa negara diperbolehkan, seperti di Amerika Serikat yang hanya untuk mengatasi kejang-kejang berat dari penyakit tertentu saja.
Baca juga: Guru Besar UGM: Ganja Bisa Jadi Alternatif Obat, Tapi Bukan yang Utama
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration/FDA) belum menyetujui Cannabidiol/CBD untuk penyakit kecuali satu penyakit yaitu kejang langka dan parah pada anak. Pun hingga saat ini belum jelas ada manfaat lain selain pengobatan kejang.
CBD adalah senyawa kimia yang ada dalam tanaman ganja. Zubair juga mengatakan ada dari sintetisnya yang kemudian dibuat untuk obat antimuntah. Di Amerika Serikat hanya itu saja yang menggunakan 1 tanaman ganja dan 2 dari sintetik THC untuk obat antimuntah. Sehingga di luar itu tidak ada yang diizinkan bahkan FDA telah mendapatkan laporan ada efek samping yang berat.
Selain itu, THC CBD dan ganja dalam bentuk apapun tidak boleh digunakan sama sekali untuk wanita hamil atau menyusui.
Sementara itu, untuk Australia mengizinkan penggunaan ganja lebih banyak selain untuk kejang epilepsi, bisa juga untuk masalah penyakit yang gawat, mual muntah akibat kemoterapi dan lainnya sehingga relatif lebih banyak indikasinya.
"Namun di Negeri Kangguru itu jelas sekali regulasinya jadi di luar resep dokter tidak boleh dipakai atau dimanfaatkan. Resep dari dokter itu pun harusnya dipakai di rumah dan tidak boleh dipakai di jalanan karena melanggar hukum," pungkasnya.(OL-5)
Menghitung domba untuk tidur adalah praktik yang terkenal, tetapi apakah itu benar-benar membantu Anda tidur?
Dua studi yang dipimpin oleh Leonie Balter dari Universitas Stockholm menyoroti pentingnya tidur dalam memengaruhi seberapa tua atau muda seseorang merasa.
Survei Gallup dan Walton Family Foundation menemukan kebahagiaan generasi Z menurun ketika memasuki usia dewasa.
Studi baru menunjukkan peningkatan signifikan dalam komplikasi penyakit terkait alkohol di kalangan perempuan paruh baya selama periode pandemi covid-19.
Studi menunjukkan suhu yang tinggi dapat mengganggu proses tidur, terutama bagi individu yang rentan terhadap insomnia.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan pembatasan kalori dan puasa intermiten dapat memperpanjang umur hewan, tetapi apakah hal ini berlaku juga untuk manusia?
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved