DATA terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per Februari 2022, tingkat pengangguran Indonesia tercatat sebesar 5,83% dari total penduduk usia kerja sejumlah 208,54 juta orang. Yang mencengangkan, dari 208,54 juta orang tersebut hampir 14%-nya adalah lulusan jenjang diploma dan sarjana (S1).
"Ini merupakan sebuah ironi. Penduduk yang notabene mengenyam pendidikan tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak justru banyak dari mereka menganggur," ungkap Head of Human Capital dari PT Praweda Ciptakarsa Informatika, Alfeus Nehemia seperti dikutip laman Universitas Airlangga (Unair), Rabu (22/6).
Dia kemudian mengungkapkan beberapa alasan lulusan pendidikan tinggi banyak yang menganggur. Pertama adalah keterampilan tidak sesuai kebutuhan.
Baca juga: Tingkat Pengangguran Terbuka Alami Penurunan
Sebagai seorang human capital, Alfeus mengungkapkan, dirinya kerap kali dihadapkan pada posisi merasa kesusahan mencari orang yang layak dipekerjakan sesuai dengan kualifikasi yang diharapkan. Banyak dari pendaftar menawarkan keterampilan yang tidak relevan atau tidak dibutuhkan oleh perusahaan saat ini.
“Kalau kalian bilang susah ya cari kerja, kami sebagai perusahaan juga bilang, susah ya cari karyawan. Akibat adanya mismatch antara keterampilan yang dibutuhkan dan yang tersedia,” ungkap alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Unair 2009 tersebut.
Alasan berikutnya adalah ekspektasi penghasilan dan status tinggi. Ketika lulus dari perguruan tinggi bergengsi, tidak jarang seseorang memiliki ekspektasi tinggi mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi dengan mudah.
Hal itu membuat beberapa lulusan dari perguruan tinggi bergengsi tersebut terlalu percaya diri dengan melabeli dirinya dengan fresh grade tinggi padahal belum tentu ia memiliki kompetensi yang layak.
“Perusahaan nggak hanya melihat almamater sekolahmu saja, namun kita juga melihat kompetensinya seperti apa, layak tidak kita bayar tinggi,” jelasnya.
Kemudian juga karena terbatasnya penyedia lapangan kerja. Terbatasnya lapangan kerja bukan lagi hal baru yang menyebabkan terjadinya banyak pengangguran.
Hal itu diperburuk dengan adanya pandemi covid-19 yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Sehingga, menyebabkan jumlah pengangguran tidak sebanding dengan lapangan kerja yang ada.
“Hampir 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi. Mungkin sudah sedikit recover, namun perlu diingat lulusan baru yang menunggu mendapatkan pekerjaan selalu bertambah tiap tahunnya,” ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, tantangan generasi muda pascapandemi untuk mencari kerja lebih berat.
“Karena harus bersaing dengan ribuan orang untuk memperebutkan lapangan kerja yang semakin sedikit,” tandasnya. (OL-1)