Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
INDONESIA yang mempunyai luas wilayah dan letaknya yang strategis, termasuk potensi kawasan hutannya, dinilai sangat penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Dengan kekayaan sumber daya alam berupa hutan, laut, mineral, energi, gambut dan sebagainya, potensi serapan dan simpanan karbon Indonesia sangat luar biasa.
“Sehingga harapannya dengan pengelolaan hutan lestari, kita dapat berkontribusi, termasuk penyelesaian solusi perubahan iklim global khususnya dalam mengejar target Paris Agreement,” ujar Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK Agus Justianto dalam keterangannya, Senin (3/1).
Terkait hal tersebut, Agus menyampaikan pihaknya telah menyusun strategi implementasi pengelolaan hutan lestari dalam mencapai ketahanan perubahan iklim. Ditjen PHL turut berkontribusi pada kegiatan aksi pencapaian target NDC melalui penerapan praktik pengelolaan hutan lestari pada Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), khususnya penerapan teknik SILIN dan Reduced Impact Logging-Carbon (RIL-C). Melalui PBPH ini, para pihak termasuk investor dan masyarakat diberikan kesempatan untuk bisa mengikuti skema perizinan multiusaha.
“Melalui multiusaha kehutanan, diharapkan dapat mendukung efisiensi pemanfaatan hutan dan memberikan kontribusi positif terhadap target NDC,” kata Agus.
Pada kesempatan tersebut, Penasehat Senior Menteri LHK Sarwono Kusumaatmadja menjelaskan variabel-variabel pokok atau kondisi terkini yang sedang melanda dunia. Perubahan iklim menjadi salah satu variabel yang perlu diantisipasi pada fase (normal) baru kehidupan manusia ke depan. Variabel lainnya yaitu situasi pandemi yang belum pasti kapan berakhir, interaksi kekuatan besar dunia yang sedang berubah, dan perkembangan teknologi digital serta kecerdasan buatan.
"Fenomena-fenomena ini harus kita persiapkan dan menjadi perhatian di masa depan. Dinamika yang beragam ini juga menciptakan situasi VUCA (volatile, uncertain, complex and ambiguous/bergejolak, tidak pasti, kompleks, dan ambigu)," terangnya.
Menurut Sarwono, untuk menghadapi apa yang sedang terjadi, dan dapat terlepas dari gejala VUCA ini, tidak cukup hanya mengandalkan komunitas sains, dunia usaha, dan pemerintah, terutama kaitannya dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kondisi saat ini, mengharuskan bentuk-bentuk partisipasi yang sama sekali baru, yang mempunyai tujuan sangat tajam dan melibatkan masyarakat hingga ke tingkat tapak.
Lebih lanjut, Sarwono mengungkapkan dalam upaya mencari solusi pengendalian perubahan iklim, seringkali dihadapkan pada pilihan dan kemungkinan yang tidak terbatas. Oleh karena itu, kita harus menciptakan kemungkinan dan solusi baru, yang merupakan bagian dari adaptasi, yang dapat diterapkan dalam satuan sosial yang compact atau kecil. Selain itu, bagaimana kita fokus agar mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia untuk bertahan hidup yaitu makanan dalam arti luas, energi dan air.
"Mari kita menyesuaikan diri, untuk tidak menyerah terhadap keruwetan zaman sekarang. Kita bangkitkan kiat-kiat untuk keluar dari suasana VUCA ini, dengan adaptasi fase (normal) baru di tingkat akar rumput," ujar Sarwono.
Selanjutnya, Senior Advisor Yayasan Kehati, Diah Suradiredja menyampaikan bagaimana konteks normal baru di era post-pandemi ini, berkaitan dengan generasi muda. Diah juga menjelaskan upaya pelibatan generasi muda dalam konteks keanekaragaman hayati supaya lestari, dan bisa mendukung pembangunan berkelanjutan, melalui Biodiversity Warriors.
Yayasan Kehati menginisiasi Biodiversity Warriors, gerakan anak muda yang bertujuan memopulerkan keanekaragaman hayati Indonesia dari segi keunikan, pelestarian, pemanfaatan secara berkelanjutan, baik melalui aksi nyata maupun dunia maya.
"Biodiversity Warriors telah menjadi sebuah gerakan pemberdayaan kaum muda menuju adaptasi fase baru. Pemikiran, karya, dan aksi mereka di lapangan telah memberikan pembelajaran dan keyakinan bahwa Indonesia dapat mencapai FoLU Net Sink 2030," pungkasnya. (H-1)
Dekan Fakultas Kehutanan Instiper Yogyakarta, Rawana menilai, program Perhutanan Sosial bisa berkontribusi positif bagi ekonomi masyarakat, tapi masih punya banyak PR.
Tanah tak lagi dipandang sekadar media tanam, tapi sebagai fondasi keberlangsungan hidup dan benteng terakhir ketahanan pangan.
STARTUP Indonesia Nosuta membuka jalan bagi mahasiswa kehutanan untuk berkarier di Jepang. Lima belas mahasiswa Program Studi Kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Menhut Raja Juli Antoni, membeberkan Indonesia-Prancis memperkuat kerja sama pengelolaan hutan berkelanjutan hingga mitigasi iklim.
BEBAN Forestry and Other Land Use (FOLU) atau sektor kehutanan dan pengunaan lahan lain dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) disebut sangat berat.
Kadin Indonesia melalui inisiatif Regenerative Forest Business Hub (RFBH) mengambil langkah strategis untuk mempercepat transformasi sektor kehutanan nasional.
Dengan cara mengurangi emisi gas rumah kaca, beradaptasi perubahan iklim, dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Perubahan iklim ditandai dengan naiknya suhu rata-rata, pola hujan tidak menentu, serta kelembaban tinggi memicu ledakan populasi hama seperti Helopeltis spp (serangga penghisap/kepik)
PEMERINTAH Indonesia menegaskan komitmennya dalam mempercepat mitigasi perubahan iklim melalui dukungan pendanaan dari Green Climate Fund (GCF).
Indonesia, dengan proposal bertajuk REDD+ Results-Based Payment (RBP) untuk Periode 2014-2016 telah menerima dana dari Green Climate Fund (GCF) sebesar US$103,8 juta.
Periset Pusat Riset Hortikultura BRIN Fahminuddin Agus menyatakan lahan gambut merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar, terutama jika tidak dikelola dengan baik.
Studi Nature ungkap pemanasan global tingkatkan fotosintesis darat, tapi lemahkan produktivitas laut. Hal itu berdampak pada iklim dan rantai makanan global.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved