SIARAN televisi analog telah mengudara selama 60 tahun di Indonesia. Namun dalam waktu satu tahun, televisi analog hanya akan menjadi kenangan.
Pasalnya, pemerintah memiliki target penyelesaian akhir program migrasi penyiaran televisi analog ke digital melalui analog switch off paling lambat 2 November 2022. Itu merujuk dari amanat Undang Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johhny G. Plate menuturkan, meski proses peralihan TV analog ke digital sepenuhnya dilakukan secara business to business. Pemerintah memastikan adanya level of playing field (kesetaraan) bagi seluruh pelaku industri penyiaran di Tanah Air.
"Pemerintah akan hadir di sana untuk menjaga ceiling dan floor pricing dari tarif, sehingga tidak membebankan dan mematikan. Itu yang akan dijaga. Formula itu berlaku bagi semua. Sehingga harus ada fair business di antara penyelenggara multiplexing dan pengguna kanal,” ujarnya dalam Economic Challanges Metro TV yang dikutip, Minggu (28/11).
Johhny menyebut, perpindahan TV analog ke digital merupakan keniscayaan dan tak bisa ditolak. Karenanya, pemerintah juga memastikan pemilik TV komunitas maupun lokal dapat turut bermigrasi ke digitalisasi. Kanal yang bisa digunakan untuk TV komunitas maupun lokal akan bersumber dari TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dan 50% kanal dari Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang ada di pemerintah.
Peranan pemerintah dalam rangka migrasi TV analog ke digital juga diupayakan tidak mematikan industri penyiaran yang ada di Indonesia. Hal itu diwujudkan melalui ketentuan tarif penyediaan kanal. “Sustainability industri itu kita jaga. Jangan semuanya mau bangun lalu killing fields. Kepada pengguna atau mitra nanti dari penyelenggara multiplexing, berapa tarifnya itu sudah ada formula yang ditetapkan dan itu sama,” imbuh Johhny.
“Karena penyelenggara multiplexing ini dia harus punya modal besar untuk membangun infrastruktur. Ini bukan hanya spektrum saja, tapi ada investasi di sana,” tambahnya.
Di kesempatan yang sama, CEO Media Group Mohammad Mirdal Akib berharap pemerintah dapat melahirkan regulasi yang tepat dan adil bagi pelaku usaha industri penyiaran. Selain level of playing field, pelaku usaha industri penyiaran juga membutuhkan perlindungan konten.
Sebab, menurut dia, digitalisasi akan membuat orang lebih terpaku pada konten yang disuguhkan tanpa melihat siapa yang memproduksinya. “Konten ini yang akan dicari, orang tidak akan lagi melihat ini Metro TV, orang akan melihat itu programnya. Nah, seberapa serius nanti kita membuat regulasi untuk memproteksi konten ini,” imbuh Mirdal.
Regulasi mengenai perlindungan atas konten itu dibutuhkan untuk menghindari berkembangnya plagiarisme. Bila plagiarisme dibiarkan menjamur, kata Mirdal, itu akan merugikan pelaku usaha industri penyiaran nasional.
Dia juga mendorong agar multiplexer siaran digital 100% dikelola oleh industri penyiaran dalam negeri. Tujuannya ialah mendorong persaingan yang berkualitas dan memajukan industri penyiaran Indonesia. “Digitalisasinya itu tidak ada diskusi lagi, itu keniscayaan, tapi ini harus diiringi juga denngan regulasi agar menciptakan fairness antara platform lain,” kata Mirdal.
Metro TV, sebagai salah satu media di bawah naungan Media Group, lanjut Mirdal, telah menjajal digitalisasi sejak 2015 silam. Peralatan produksi siaran TV sepenuhnya telah diperbarui untuk mendorong digitalisasi. Dia meyakini, digitalisasi TV akan meningkatkan mutu penyiaran yang lebih baik dan bersaing ketimbang analog.
Belum lagi, digitalisasi TV juga akan mendorong munculnya perusahaan siaran baru yang dapat mendorong kompetisi penyiaran di Tanah Air. “Peluang untuk membuat TV jadi lebih murah, tidak perlu lagi transimisi, antena yang cukup besar, lebih efisien, memudahkan teman-teman mendirikan TV. Tinggal regulasi, dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) kualitasnya harus tetap dijaga,” kata Mirdal.
Sementara itu, pengamat media Ignatius Haryanto mengungkapkan, industri penyiaran akan mendapatkan tantangan baru dalam era TV digital. Menurutnya, industri akan ditantang untuk melahirkan banyak konten dan program guna disuguhkan kepada khalayak.
Apalagi, saat ini industri media kerap bersinggungan dengan platform lain yang memiliki banyak konten dan cenderung digandrungi masyarakat. “Ini terkait kesiapan industri penyiaran memproduksi program-program yang lebih banyak,” imbuhnya.
“Dengan program kanal yang lebih banyak, otomatis konten juga dibuat lebih banyak. Karena sekarang kita berhadapan dengan situasi digital, di tempat lain sudah muncul banyak content creator. Bagaimana kreativitas pelaku industri ini berhadapan dengan content creator lain menjadi penting,” pungkas Ignatius. (OL-15)