Disertasi Lestari Moerdijat: Organisasi Butuh Kepemimpinan Kuat

Cahya Mulyana
04/9/2021 06:36
Disertasi Lestari Moerdijat: Organisasi Butuh Kepemimpinan Kuat
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat mengikuti sidang terbuka Doctor of Research in Management Universitas Pelita Harapan, di Jakarta.(MI/BRIYANBODO HENDRO)

TRANSFORMASI pengelolaan organisasi menciptakan organisasi yang hidup. Melalui dialektika, organisasi memiliki kemampuan untuk mendorong terjadinya evolusi.

Demikian kesimpulan dari disertasi berjudul Transformasi Pengelolaan Organisasi di Daerah Pascabencana dan Pascakonflik Studi Kasus Yayasan Sukma dan Sekolah Sukma Bangsa di Aceh yang disampaikan Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam sidang terbuka promosi Doktor Ilmu Manajemen, secara daring yang digelar Universitas Pelita Harapan, Jumat (3/9) sore.

Disertasi itu, kata politisi NasDem yang akrab disapa Rerie itu, memiliki latar belakang Aceh pascabencana dan pascakonflik. Karena pada 2004, Aceh dihantam gempa bumi dan tsunami.

Baca juga: Ini Rumus Luas Lingkaran, Cara Menghitung dan Contoh Soalnya 

Di saat yang sama, Aceh masih dalam kondisi darurat sipil (konflik bersenjata) yang memecah masyarakat Aceh menjadi dua kubu yaitu kubu Gerakan Aceh Merdeka dan kubu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sidang terbuka itu dipimpin Rektor Universitas Pelita Harapan Jonathan L. Parapak, Hendrawan Supratikno selaku promotor, Dekan FEB UPH dan Ko-Promotor Gracia Shinta S, Ko-promotor Khoiruddin Bashori dan Rudy Pramono, Oponen Ahli Komaruddin Hidayat, Bachtiar Aly, dan Badri Munir Sukoco.

Dalam sidang tersebut, Rerie mengungkapkan learning organization yang dinyatakan sebagai satu-satunya faktor dalam organisasi, ternyata tidak dapat berdiri sendiri dan memerlukan sejumlah faktor lain sebagai daya dorong untuk jalannya organisasi itu.

Dalam kurun waktu 15 tahun, ungkap Rerie, Yayasan Sukma, yang memulai kegiatan dengan membangun sekolah di Aceh dan mendapatkan penolakan dari masyarakat, berhasil melembagakan peacebuilding school yang inklusif, mengembangkan model manajemen konflik berbasis sekolah, menerbitkan jurnal pendidikan dengan akreditasi SINTA 4, menerbitkan puluhan buku karya guru dan siswa dan mengasuh kolom tetap di harian nasional.

Bahkan, tambah Rerie, sekolah tersebut menghasilkan 30 guru bergelar Master in Teaching Education dari Finland University, menjadi teacher training center bagi sekolah-sekolah lain, hingga kegiatan di luar pendidikan seperti membebaskan sandera Abu Sayaff dan menyelenggarakan kenduri kebangsaan sebagai rekonsiliasi pascapemilu 2019.

Sense of belonging masyarakat pada sekolah yang diberi nama Sekolah Sukma Bangsa itu, jelas Rerie, terbentuk hingga membuat perjanjian serah terima sekolah kepada pemerintah daerah yang sedianya dilakukan di 2018 mengalami perubahan.

Atas permintaan stakeholder, tambahnya, dibuat addendum dengan Yayasan Sukma tetap menjadi pengelola sekolah sampai batas waktu yang akan disepakati kemudian.

Kerangka konseptual awal penelitian ini, jelas Rerie, menghubungkan Learning Organization, Knowledge Creation, Dynamic Capabilities, Adaptive Resilience, dan Innovation Capacity, dalam studi kasus berganda (jamak) yang menjelaskan keberadaan Yayasan Sukma dan tiga Sekolah Sukma Bangsa sebagai bagian dari organisasi yang integratif, menghasilkan munculnya konsep baru.

Hal itu, jelas Rerie, terlihat pada kerangka teori akhir (Final Theoretical Framework), bahwa dengan adanya keterhubungan Learning Organization, Knowledge Creation, Dynamic Capabilities, dan Adaptive Resilience, serta ditemukan dua konsep baru yaitu Spiritual Belief (SB) dan Funding Commitment (FC) menghasilkan Innovation Capacity.

Empat periodisasi perjalanan Yayasan dan Sekolah Sukma Bangsa sebagai sebuah organisasi, ungkap Rerie, memperlihatkan elaborasi kelima konsep yang diperkuat dengan spiritual belief dan funding commitment, terjadi baik dalam keterkaitan secara parsial, dan/atau keterkaitan secara komprehensif.

Menurut Rerie, hasil penelitian ini perlu dikembangkan dan diuji kembali dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

Kemudian, tambahnya, perlu ada penelitian serupa di daerah lain yang memiliki latar belakang geografis, dinamika sosial, politik, serta budaya berbeda.

Implikasi praktisnya, jelas Rerie, bagi organisasi yang berhadapan dengan situasi kompleks, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan penuh kasih (compassionate leadership) baik di tingkat menengah hingga atas, untuk dapat memobilisasi sumber daya, serta meneguhkan nilai-nilai yang dibangun dalam organisasi.

Manajemen organisasi, tambah Rerie, selain mengaplikasikan organisasi belajar, penciptaan pengetahuan, kapasitas dinamis, daya tahan tangguh, dan kapasitas inovasi juga harus mampu menganalisis dan mengevaluasi situasi yang terjadi dalam rangka menciptakan budaya baru yang menggabungkan modernitas dan kearifan lokal.

Bagi organisasi atau korporasi yang hendak atau telah melakukan hal serupa (replikasi), menurut Rerie, harus memahami bahwa kecepatan respon, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, inovasi, serta komitmen termasuk komitmen finansial dan keyakinan (spiritual belief) menjadi syarat keberlangsungan kegiatan dalam jangka panjang.

Bagi pemerintah daerah, Rerie berharap, agar dapat mereduksi birokrasi yang memperlambat pengambilan keputusan, mempermudah proses administrasi dan pelayanan publik, dan melaksanakan monitoring. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya