Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

DPR: Negara Harus Atur Kontribusi Ekonomi Raksasa Digital Global

Faustinus Nua
12/3/2021 15:00
DPR: Negara Harus Atur Kontribusi Ekonomi Raksasa Digital Global
Australia sudah mewajibkan Google maupun Facebook untuk membayar melalui News Media Bargaining Code law.(AFP/ALAIN JOCARD)

Dengan jumlah penduduk yang banyak, Indonesia menjadi pangsa pasar potensial bagi perusahaan-perusahaan kelas dunia, termasuk sejumlah perusahaan raksasa digital global atau over the top (OTT).

Perusahaan seperti Google, Facebook, Twitter, Netflix dan lainnya dinilai begitu leluasa dalam menjalankan bisnisnya di Tanah Air. Mereka mampu meraup keuntungan yang besar, namun tidak begitu berkontribusi bagi ekonomi Indonesia dan bahkan justru mengancam perusahaan media nasional.

Anggota Komisi VI DPR RI Evita Nursanty mendorong agar negara dalam hal ini pemerintah mesti membuat regulasi yang memadai. Negara harus mengatur keberdaan OTT, terutama terkait kontribusi ekonomis bagi Indonesia. Mengingat keuntungan yang mereka dapatkan yang terbilang tidak sedikit.

Baca juga: Pendidikan Vokasi di PTKI Sambut Tren Makanan dan Pariwisata Halal

"Negara berhak untuk mengatur keberadaan OTT. Kenapa? Karena mereka mengambil manfaat secara ekonomi dan bisnis dari masyarakat kita. Karena mereka bisa mengontrol apa yang mereka anggap penting bagi masyarakat kita. (Selama ini mereka pegang kontrol) karena tanpa pengaturan yang kuat," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jumat (12/3).

Dalam menyikapi keberadaan para OTT, politisi PDIP itu menyarankan agar Indonesia belajar pada negara-negara lain yang mampu mengontrol para raksasa teknologi global itu. Hal itu tentunya dilakukan dengan regulasi yang kuat dan merepresentasikan kepentingan bangsa dan negara.

"Kita lihat Uni Eropa itu kuat dalam membuat aturan, kemudian China juga jauh lebih ketat. Tak hanya ketat tapi mereka berhasil mengembangkan sisi industri digital mereka sehingga banyak perusahaan digital mereka yang sekarang unggul. Ini akibat investasi perusahaan mereka yang sangat kuat dalam bidang research and evelopment (R&D)," terang Evita.

Menurutnya, pengaturan yang perlu diterapkan terkait keadilan dari sisi ekonomi dan bisnis. Keutungan besar yang diperoleh OTT harus sebanding dengan pajak untuk negara, transfer teknologi dan sebagainya.

"Dia (OTT) bisa memberikan dalam bentuk pajak, dalam bentuk penguatan sumber daya manusia, dalam bentuk infrastruktur dan sebagainya," sambungnya.

Selain itu, Evita juga menekankan agar para OTT dibebankan tanggung jawab secara rigid ketika produk atau layanan mereka bermasalah. Pasalnya, selama ini konten-konten bermasalah yang dapat diakses melalui situs perusahaan-perusahaan tersebut merupakan diluar tanggung jawab mereka. Sebut saja kontem hoaks dan lainnya yang meresahkan masyarakat.

Baca juga: Pentingnya Merawat Kebhinekaan dengan Kebudayaan

"Kemudian ada prinsip lain, jika dia membuat kerusakan maka dia harus bertanggungjawab atas kerusakan itu. Dia harus siapkan teknologi maupun SDM untuk mengatasi itu dengan cepat. Jangan diserahkan kepada kita menyelesaikan kerusakan yang mereka buat. Secara sederhananya seperti itu," kata dia.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa peran semua stakeholders sangat dibutuhkan untuk mendorong upaya tersebut. Semua pihak seperti media harus bersuara jika dirugikan atau ketika mendeteksi ada potensi kerugian yang dialami.

"Saya lihat kita masih kurang kesadaran untuk melakukan protes kepada OTT yang merugikan. Misalnya, kok berita-berita dari situs berita kita yang susah payah dihasilkan media begitu mudah diambil oleh OTT untuk disalurkan ke pelanggannya, apalagi mereka bisa menentukan mana berita yang pantas dibaca oleh masyarakat, kok mereka yang jadi penentu mana yang perlu dibaca mana yang tidak? Jadi disini kan media kita harusnya juga berbicara," tegasnya.

Evita mencontohkan, di negara lain ketika OTT tidak fair dalam menjalankan praktek bisnisnya terhadap media-media lokal, negara tersebut dengan tegas merespons dengan membuat regulasi yang benar-benar mencerminkan kedaulatan bangsa dan negaranya.

"Kita dengar Australia bulan lalu sudah mewajibkan Google maupun Facebook untuk membayar melalui News Media Bargaining Code law. Kita juga harus melakukan hal serupa tidak hanya terkait media tapi juga hal-hal lain. Ini harus diselesaikan komprehensif," terangnya.

Evita menambahkan, negara mestinya menekankan para OTT untuk mau bekerjasama dengan perusahaan teknologi lokal karena akan memudahkan pemerintah dalam hal kontrol ke depannya. Salah satunya dengan mewajibkan mereka bekerja sama dengan operator telekomunikasi dalam negeri.

"Sehingga jaringan internet yang dibangun operator telekomunikasi tidak hanya menjadi pipa bagi mereka menyedot semua data dan keuntungan dari pengguna di Indonesia. Selain itu pemerintah dapat lebih mengawasi mereka melalui operator telekomunikasi yang highly regulated," tandasnya.(H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik