Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Inilah Akar Masalah Maraknya Perkawinan Anak

Mediaindonesia.com
27/2/2021 04:55
Inilah Akar Masalah Maraknya Perkawinan Anak
Seorang anak membawa poster saat aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.(Antara/Arnas Padda.)

AKAR masalah perkawinan anak, terutama perempuan, yaitu konstruksi gender yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat dibandingkan laki-laki. Konstruksi gender tersebut menyebabkan sebagian orangtua menganggap anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi dan lebih baik segera dikawinkan.

"Perempuan dianggap sebagai empunya domestik, sehingga dihalang-halangi untuk masuk ke sektor publik. Ketika bisa masuk ke sektor publik pun selalu diingatkan dengan tugasnya di rumah," kata Ketua Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani dalam seminar daring tentang pencegahan perkawinan anak yang diadakan Jaman Perempuan Indonesia di Jakarta, Jumat (26/2).

Kalau pun perempuan bisa meraih pendidikan tinggi pun, Andy memandang terdapat ketidakseimbangan antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan akses tersebut. Hubungan antara tingkat pendidikan yang rendah dengan praktik perkawinan anak bisa dilihat pada kasus iklan penyedia jasa penyelenggara perkawinan yang mempromosikan perkawinan anak yang sempat menjadi perbincangan publik.

"Daerah yang menjadi sasaran Aisha Wedding, yaitu Lombok. Rata-rata pendidikan di daerah itu hanya 5,5 tahun untuk perempuan dan tujuh tahun untuk laki-laki," tuturnya.

Menurut Andy, masih ada sebagian masyarakat yang memandang pendidikan anak bukan sebagai hal yang utama. Akhirnya ini direkatkan pada kemiskinan masyarakat. Kemiskinan karena pendidikan yang rendah menjadi salah satu faktor penyebab perkawinan anak, meskipun juga ada yang menggunakan dalil agama dan tradisi.

"Ada yang mengatakan generasi nenek kita, juga sudah kawin pada umur belasan tahun, nyatanya tidak ada permasalahan dengan kesehatan reproduksi dan lain-lain. Itu praktik tradisi yang tidak melihat perbedaan yang jauh dalam melihat permasalahan kesehatan reproduksi, hak-hak perempuan, serta kematangan mental seseorang pada zamannya," jelasnya.

Di sisi lain, Andy melihat pandemi covid-19 juga ikut berdampak pada praktik perkawinan anak. Selain berdampak pada ekonomi masyarakat, pandemi covid-19 juga berdampak pendidikan anak.

"Banyak murid merasa terbebani dengan pendidikan daring, selain permasalahan infrastruktur teknologi dan kapasitas guru yang berbeda. Pada saat bersamaan, terjadi kepanikan moral ketika orangtua melihat anaknya di rumah saja," katanya. (Ant/OL-14



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya