Headline
Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.
DEMENSIA merupakan kondisi yang terjadi pada seseorang karena penurunan kognitif atau penurunan fungsi luhur otak yang disertai dengan perubahan perilaku sehingga menganggu kehidupan sosial dan pekerjaan.
Ahli saraf, Yuda Turana mengatakan kondisi demensia bukan hanya persoalan kelompok tertentu. Pasalnya, salah satu faktor dan risikonya adalah usia.
"Jadi semua orang yang ada di sini akan tua dan akan meningkat risikonya," kata Yuda dalam talkshow bertajuk Pandemi, Kesehatan Mental dan Demensia secara virtual, Jumat (4/9).
Meskipun biasanya terjadi pada usia lansia, namun tidak menutup kemungkinan orang yang lebih muda juga dapat mengalaminya. Apabila demensia telanjur terjadi, tidak ada kata sembuh. Dimana titik krusial untuk mengatasi persoalan ini adalah pada masa prademensia.
"Bicara Alzheimer sebenarnya mempersiapkan kita juga di masa depan," sebutnya.
Dalam situasi pandemi Covid-19, dimana adaptasi kebiasaan baru tentunya ini sangat sulit bagi penderita gangguan kognitif dan perilaku.
"Sekarang challenge nya adalah kita berhadapan dengan situasi yang disebut beradaptasi dengan kebiasaan baru, tentu itu jadi tantangan yang sangat besar," terangnya.
Dia memaparkan tantangannya, pertama yakni variabel lansia, tentunya ditengah pandemi Covid-19 sangat berisiko tinggi terpapar virus tersebut.
"Jika terpapar maka risiko pemberatnya besar, apalagi ada tambahan demensia, sebab orang dengan demensia jelas imunitasnya menurun dibandingkan dengan lain," lanjutnya.
Baca juga : Tenaga Medis Alami Sindrom Burnout, Kenali Tanda-tandanya
Tantangan kedua, yakni gangguan kognitif atau perilaku. Dimana pada dimensia saat ada gangguan kognitif sulit mengungkapkan perasaan seperti memberitahu kondisi sakit, baik deman, sakit kepala atau lainnya
"Kita tahu bahwa terakhir ini gejala untuk Covid-19, itu tidak hanya demam, screening hanya menyingkirkan 20% -30% sisanya gejala spesifik dan tentu pada pasien dimensia sulit mengungkapkan," tegasnya
Kemudian tantangan ketiga, terkait adaptasi baru tentunya semua dipaksa untuk melakukan kebiasaan baru tersebut. Kata Yuda, bagi orang yang sehat secara kognitif dan perilaku normal menjadi tantangan yang berat untuk beradaptasi.
"Dulu saya sebagai dokter, kalau ada pasien dengan demensia selalu menganjurkan keluarga biasakan dengan kebiasaan yang lama. Tetapi pasien demensia sangat berat dalam situasi pendemi ini, ditambah pasien demensia juga memiliki penyakit lainnya, seperti hipertensi, diabetes tentunya akan meningkat risikonya," tuturnya.
Dia tak memungkiri, bagi caregiver atau pendamping lansia memiliki tugas berat jika ada keluarga yang demensia. Dimana dalam kondisi normal saja berat, terlebih saat kondisi kebiasaan baru di tengah pandemi Covid-19.
"Ancaman bukan hanya untuk orang yang indikasi yang sedang dirawat, tetapi juga untuk yang merawatnya pun satu tantangan," pungkasnya. (OL-2)
Penelitian jangka panjang menunjukkan pola makan Mediterranean dapat menurunkan risiko demensia hingga 35%, khususnya pada orang dengan gen APOE4.
Keterkaitan terletak pada penumpukan amiloid-beta yang merupakan protein toksik yang merupakan salah satu ciri khas penyakit Alzheimer.
Temuan ini mereka dapatkan setelah melakukan pengamatan pada 25 otak post-mortem kucing yang sudah mati, beberapa di antaranya menunjukkan gejala demensia saat masih hidup
Penelitian mengungkapkan kucing yang menderita demensia mengalami perubahan otak, mirip dengan manusia.
Demensia menyerang jutaan orang di seluruh dunia, menyebabkan penurunan fungsi kognitif yang mengganggu aktivitas sehari-hari
Berbeda dari Alzheimer, FTD lebih sering menyerang usia muda, biasanya antara 40 hingga 65 tahun.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved