Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PESATNYA pembangunan dan kemajuan perkembangan zaman tidak boleh serta-merta menghilangkan hak-hak yang dimiliki masyarakat adat. Konstitusi dan sejumlah undang-undang (UU) yang ada sebetulnya telah mengatur dan menjamin hak dari masyarakat hukum adat.
Namun, kendati demikian, seringkali hak masyarakat adat terabaikan dalam beberapa pelaksanaan pembangunan. Dalam menyikapi hal tersebut, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai NasDem Lestari Moerdijat (Rerie) menilai negara perlu menjamin perlindungan hak-hak masyarakat adat.
“Masyarakat adat ialah salah satu elemen yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, karena itu negara harus hadir bila hak-hak masyarakat adat diabaikan sejumlah pihak,” kata Rerie dalam dalam diskusi daring bertema Urgensi UU Masyarakat Hukum Adat Dalam Bingkai NKRI, yang digelar Forum Diskusi Denpasar12 bekerja sama dengan DPP Partai NasDem Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis, kemarin.
Menurut Rerie, Pasal 18B yang ada dalam UUD 1945 secara gamblan telah menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga, secara normatif masyarakat hukum adat merupakan bagian dari 4 pilar kebangsaan dalam bentuk Wawasan Nusantara.
“Berbagai instrumen aturan, sebenarnya sudah mengatur sejumlah hal terkait masyarakat adat, tetapi hingga saat ini pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat belum bisa diakhiri. Salah satunya karena ada tumpang tindih antarperaturan yang ada,” paparnya lebih lanjut.
Kearifikan lokal
Staf Ahli Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Bidang Sosio-Antropologi Tukul Rameyo mengungkapkan persoalan masyarakat adat tidak hanya soal kepemilikan dan hak pengelolaan lahan, tetapi juga soal pengakuan kearifan lokal yang bisa menjadi sumber pengetahuan dan diakui banyak pihak. Menurut Tukul, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) memasukkan kearifan lokal menjadi salah satu langkah yang bertujuan strategis.
“Upaya ini untuk melindungi hak-hak kebudayaan masyarakat adat,” ujarnya.
Sementara itu, Inisiator RUU Masyarakat Hukum Adat Periode DPR 2014-2019, Muchtar Luthfi Mutty tidak sungkan untuk menunjukkan rasa kekecewaannya terhadap DPR dan pemerintah lantaran belum disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat menjadi UU. Padahal RUU Masyarakat Hukum Adat sudah dibahas selama dua periode keanggotan DPR RI.
Luthfi menduga setidaknya ada dua pihak yang menghambat realisasi UU Masyarakat Hukum Adat yaitu dari sisi pemerintah dan korporasi. Alasannya, pemerintah terkesan tidak ikhlas berbagi kekuasaan dan kewenangan dengan masyarakat adat di sejumlah wilayah.
Adapun korporasi dinilai Luthfi tidak menginginkan banyak institusi terlibat dalam setiap kegiatan usahanya, terutama di sektor perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. (P-1)
Abdon Nababan mengungkapkan berdasarkan UUD masyarakat adat merupakan bagian dari HAM, atas dasar itu Kementerian HAM merupakan rumah bagi masyarakat adat.
DI tengah tantangan ketahanan pangan nasional, masyarakat adat disebut telah membuktikan diri sebagai penjaga kedaulatan pangan yang berkelanjutan.
RUU Masyarakat Adat penting untuk menjamin hak-hak masyarakat adat yang selama ini terabaikan.
Mekanisme perlindungan yang menyeluruh terhadap para pekerja rumah tangga dan masyarakat adat harus diwujudkan.
Tantangan yang dihadapi masyarakat adat semakin besar, terutama dalam menghadapi kebijakan dan praktik pembangunan yang kerap mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved