Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
Kisah ini bermula dari Singaraja, Bali. Lima tahun silam, Bukhi Prima Putri, mahasiswa arsitektur Universitas Budi Luhur, Jakarta, mendapat kesempatan magang di salah satu biro arsitektur tradisional yang berlokasi di salah satu desa di wilayah Pulau Dewata tersebut.
Di tempat itu, Bukhi tidak cuma belajar mengenai arsitektur, tetapi juga tentang gaya hidup ramah lingkungan, seperti bercocok tanam dan membuat kompos. Pengalaman tersebut mulai mengubah pandangan hidupnya mengenai lingkungan.
“Pengalaman-pengalaman tersebut yang mengesankan saya hingga akhirnya saya terbiasa dengan disiplin seperti itu,” ungkap perempuan berdarah Aceh -Minang ini dalam wawancara daring dengan Media Indonesia pada pertengahan Agustus lalu.
Pada 2018, Bukhi pun hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dia merasa kota yang berada di pesisir selatan Pulau Jawa ini memiliki kesamaan dengan Bali, yang merupakan tempat pertamanya berkenalan dengan sustainable living. Secara sederhana Bukhi mengartikan sustainable living sebagai gaya hidup yang bertanggung jawab, baik kepada diri, lingkungan, dan masyarakat sekitar.
Salah satu perwujudannya ialah dengan selektif mengonsumsi barang. Bahkan tak jarang untuk mendisiplinkan diri, dia rutin memilah produk-produk yang akan dikonsumsi. Prinsip inilah yang juga dia terapkan saat membuka toko kelontong (bulk store) di Yogja, yang diberi nama ‘Ranah Bhumi’ pada April 2019 lalu. Toko ini hadir dengan tagline ‘Toko Kelontong Terkurasi’. Di tempat ini dijual aneka produk ramah lingkungan, mulai dari sayur-mayur, peralatan rumah tangga, hingga berbagai macam camilan yang semuanya telah lolos kurasi dari sang empunya toko.
Selain memfungsikannya sebagai toko, Bukhi juga mengonsep toko ini sebagai ruang belajar dan mempraktikkan gaya hidup selaras dengan alam. Ia bahkan mengundang beberapa orang rekannya dari Bali yang juga merupakan praktisi gaya hidup sustainable living untuk ikut mengedukasi para pelanggan toko kelontongnya.
Lokasi toko ini cukup strategis, terletak di Desa Wisata Prawirotaman, yang juga dikenal sebagai Kampung Turis Mancanegara di Jogja. Selain itu, meski hanya menempati bangunan berukuran 40 meter persegi, toko ini juga cukup mencolok lantaran tema vintage yang diusungnya. Ketika memasuki toko ini, Anda akan langsung disambut oleh rak-rak kayu yang tersusun rapi serta deretan stoples penuh dengan aneka camilan sehat, perkakas rumah tangga, hingga berbagai bahan pangan mulai dari beras, tepung, hingga rempah-rempah.
Semua produk yang ada di toko ini merupakan produk pilihan yang telah melalui proses kurasi dari tim Ranah Bhumi dan diambil langsung dari petani, pekebun, atau supplier tepercaya yang merupakan mitra Ranah Bhumi. “Kurasi yang kami maksud di sini lebih seperti mendokumentasikan prosesnya. Biasanya kami mulai dari ngobrol-ngobrol dengan petani atau supplier. Kita gali cerita terkait proses pebuatannya, lalu kita agendakan satu hari untuk melihat proses tersebut, misalnya gula kelapa, ya kita lihat proses penderesannya, sebisa mungkin kami cek produk tersebut sebelum kita ambil,” papar Bukhi.
Lima kriteria
Setidaknya, menurut Bukhi, terdapat lima kriteria yang menjadi pertimbangannya ketika menyeleksi produk di Ranah Bhumi. Pertama adalah ‘Kelokalan’. Pihaknya berkomitmen untuk sebisa mungkin menghadirkan atau menjual produk-produk lokal dengan kualitas terbaik. Meskipun demikian, Ranah Bhumi juga tidak menghindari produk impor bila produk tersebut tidak bisa didapatkan di Indonesia.
Selain itu, sebisa mungkin produk yang dijual di Ranah Bhumi juga memiliki tanggung jawab sosial atau ethical. Artinya, tidak ada yang dirugikan dalam proses produksinya. Bukhi mencontohkan kriteria ethical ini, misalnya jika Ranah Bhumi ‘kulakan’ pada petani, sebisa mungkin petani harus untung. Oleh karena itu, tak jarang harga produk yang ditawarkan oleh Ranah Bhumi lebih mahal dari harga pasaran.
Selanjutnya, Ranah Bhumi juga cukup selektif dalam menegakan prinsip ‘Ramah Lingkungan’. Artinya, setiap produk yang dikerjasamakan dengan Ranah Bhumi harus ramah lingkungan. Produsen harus bisa meminimalisasi timbulnya dampak pencemaran lingkungan dari produk yang ia hasilkan. Khusus untuk hasil pertanian, biasanya tim Ranah Bhumi akan menanyakan terkait penggunaan pestisida ataupun pupuk kimia. “Sebisa mungkin kami hindari produk-produk pertanian yang masih memakai pestisida dan pupuk kimia,” tegas perempuan kelahiran Padang, 26 November 1984 ini.
Lalu, kata Bukhi, sebisa mungkin produk tersebut juga memiliki nilai nutrisi atau ‘sehat’ sehingga baik untuk dikonsumsi tubuh. Terakhir, kriteria yang menjadi penentu kurasi produk di Ranah Bhumi adalah ‘nilai gotong royong’, yaitu berkaitan dengan dimensi pemberdayaan yang ada pada produk tersebut.
Kata Bhuki, pihaknya sangat mengapresiasi produk-produk yang pengerjaannya melibatkan masyarakat secara luas. “Karena dengan begitu sirkulasi ekonominya jelas, misalnya produk kerajinan, kain tenun, atau batik. Produk-produk ini pasti kami fasilitasi di Ranah Bhumi,” terang Bukhi.
Lantas, bagaimana Ranah Bhumi mengedukasi pelanggan? Dalam hal ini, mereka memiliki strategi menarik, yaitu dengan cara ngobrol. Menurut Bukhi kebiasaan mengobrol ini merupakan media yang efektif untuk membangun kepercayaan, baik kepada pelanggan maupun kepada mitra Ranah Bhumi. “Kami membiasakan diri untuk ngobrol dengan pembeli maupun dengan mitra kami. Bahan obrolannya ya pasti sekitaran yang kita jual di Ranah Bhumi yang belum mereka tahu, produk-produk ini merupakan arsip buat kami,” jelasnya.
Selain itu, Ranah Bhumi juga tidak menyediakan kantong plastik pada para pelanggannya. Hal ini sebagai salah satu upaya mengedukasi pelanggan untuk mengurangi limbah plastik demi kelestarian lingkungan. Namun, menurut pengakuan Bukhi, masih saja ada pelanggan yang lupa membawa kantung belanja. Untuk mengatasi masalah ini, Bukhi berinisiatif menyediakan jasa peminjaman kantung belanja.
“Ini merupakan salah satu cara untuk mengedukasi orang-orang yang belum familier dengan konsep toko curah yang produk-produknya tidak menggunaan kemasan. Saya selalu mengimbau pelanggan membawa wadah belanjanya sendiri jika ingin belanja di sini. Kalaupun tidak bawa, ya akan kami pinjami kantung belanja.”
Kerja keras Bukhi menyosialisasikan gaya hidup ramah lingkungan melalui toko kelontongnya pun mulai diterima masyarakt. Selain berbelanja, banyak pelanggan betah berlama-lama di Ranah Bhumi karena senang mengobrol dengan Bukhi dan para pengurus toko kelontong ini. “Intinya kami ingin mengedukasi orang-orang di sekitar Ranah Bhumi untuk shifting atau mengubah gaya hidupnya menjadi gaya hidup yang selaras dengan alam,” pungkasnya menyudahi. (M-4)
Dengan cara masing-masing, mereka berupaya memberi andil untuk memulihkan bumi yang tengah sakit ini.
Yang ingin dituju Mendekor pun tidak muluk-muluk. Mereka ingin para perajin punya penaikan pendapatan dan bisa merekrut para pekerja lebih banyak.
Sempat salah strategi bisnis, UMKM ini menemukan momentum pertumbuhan dari produk-produk dekorasi.
Lahir sejak Maret 2020 saat pandemi mulai menghantam Indonesia, Dibalik Pandemik hingga kini telah menyalurkan total sekitar Rp100 juta kepada 70-an penerima bantuan.
Gerakan yang diinisiasi perempuan muda ini bertujuan membantu para pekerja di sektor perhotelan dan wisata
Namun, kisah di balik VW dan kesibukan Rahmad yang mesti berjibaku saat menggunakan gelas ukur dan mesin pres kopi dengan hanya sebelah tangan yang bisa digunakan juga tak kalah istimewa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved