Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Deteksi Tsunami, BPPT Gunakan Sistem Kabel

Atikah Ishmah Winahyu
21/7/2020 19:25
Deteksi Tsunami, BPPT Gunakan Sistem Kabel
Evakuasi korban bencana dalam simulasi penanganan bencana gempa dan tsunami di Desa Wani, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Sabtu (18/7).(ANTARA/Mohamad Hamzah)

LOKASI Indonesia yang berada di antara Ring of Fire membuat negara ini rentan mengalami bencana gempa dan tsunami. Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Yudi Anantasena mengungkapkan, sebagai upaya antisipasi BPPT telah menerapkan sistem Cable Base Tsunameter (CBT) yakni kabel pendeteksi bencana tsunami sejak 2019 lalu.

“Ini sistem kabel yang ditanam di dasar laut kemudian kita pasang sensor. Nanti ujungnya yang di pantai itu kita punya station untuk mengirim data,” kata Yudi saat dihubungi Media Indonesia, Selasa (21/7).

Baca juga: Hari Anak Nasional: 500 Anak Ikuti Temu Anak Peduli Daring

Yudi menuturkan, CBT memiliki banyak kelebihan seperti perawatannya relatif lebih sederhana dibandingkan buoy yang sudah digunakan selama ini. Selain itu, buoy lebih rentan dirusak karena vandalisme dan dijadikan tambak nelayan.

Namun, pemasangan buoy juga masih diperlukan di daerah yang terbilang rawan tsunami seperti di Palu yang daratannya dekat dengan sumber gempa dan untuk mengisi lokasi yang rencananya akan dipasang CBT.

“Kalau sistemnya buoy itu memang hanya 5 tahun, kan disimpan di laut. Kemudian juga ada korosi dan lain sebagainya, memang tidak bisa berumur lama. Nah, kalau di sistem kabel yang selama ini prakteknya di dunia ada beberapa negara bisa sampai 20 tahun. Jadi bisa lebih lama dan perawatannya relatif lebih sedikit daripada buoy yang setiap tahun harus ganti baterai. Waktu project kita dulu atau 10 tahun yang lalu kita memasang itu (buoy) tapi sekarang sudah waktunya memang dia tidak terpakai, sudah uzur. Nah, sekarang pakai ada kegiatan lagi untuk memasang yang kita akan proyeksikan untuk kabel CBT itu,” jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, alat CBT akan ditempatkan di lokasi-lokasi yang rawan tsunami, terutama di perairan yang terdapat gunung berapi bawah laut yang ada kemungkinan terjadi longsor atau erupsi seperti kejadian di Selat Sunda beberapa waktu lalu. Pada 2019 CBT telah dipasang di dua lokasi yakni di Pulau Sertung di sekitar Gunung Anak Krakatau dan Pulau Sipora di Perairan Mentawai. Rencananya, CBT akan dipasang di tiga lokasi baru pada 2021 mendatang yakni di Labuan Bajo serta perairan antara Kalimantan dan Sulawesi.

Yudi mengaku, pemasangan CBT memang terbilang lebih rumit dan mahal, oleh sebab itu alat tersebut hanya akan diletakkan di lokasi-lokasi prioritas yang rawan dan memiliki populasi masyarakat yang cukup besar. Dia pun menambahkan, selain teknologi canggih untuk mendeteksi bencana, masyarakat juga perlu memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup terkait bencana agar mereka mengerti apa saja yang harus dilakukan jika sewaktu-waktu terjadi gempa dan tsunami.

“Kita akan tetap hidup dengan bencana itu karena kita berada di ring of fire. Alat tersebut hanya membantu kita untuk mendapatkan peringatan yang sedikit lebih cepat, artinya maksimal 20-30 menit, jadi tidak terlalu cepat juga. Masyarakat juga harus lebih terbiasa dengan kondisi seperti itu,” tandasnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya