Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Rapid Test Dijadikan Bisnis, Dari 40 Kit Jadi 100 Kit

Zubaedah Hanum
10/7/2020 06:05
Rapid Test Dijadikan Bisnis, Dari 40 Kit Jadi 100 Kit
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Dr dr Ari Fahrial Syam, Sp PD KGEH(MI/Adam)

RAPID test antibodi covid-19 benar-benar menjadi bisnis yang meraup banyak cuan. Buktinya, banyak rumah sakit memilih untuk menghentikan layanan pemeriksaan rapid test kepada masyarakat setelah terbitnya aturan batasan tarif tertinggi sebesar Rp150 ribu pada 6 Juli 2020. Sebelumnya, biaya rapid test di sejumlah rumah sakit dipatok mulai dari Rp300 ribu.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Ari Fahrial Syam mengungkapkan, maraknya bisnis 'kagetan' ini terlihat dari melonjaknya varian kit rapid test. Dari hanya 40 kit pada Maret 2020 menjadi lebih dari 100 kit di Juli 2020.

Ia mengaku sedari awal tidak setuju jika pemeriksaan massif covid-19 dilakukan dengan mengandalkan alat rapid test. "Sebab, alat ini hanya berfungsi untuk mendeteksi antibodi seseorang, bukan untuk menemukan virus covid-19," ujar Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Lebih lengkapnya, mari kita simak wawancara lengkap Media indonesia dengan Ari Fahrial Syam, ketika dihubungi, Kamis (9/7).

1. Apa sebenarnya fungsi dari rapid test?

Sebenarnya rapid test itu kegunaannya secara kedokteran itu hanya untuk mengetahui prevalensi atau angka kejadian dan itu bukan untuk diagnosis. Jadi, dokter dalam prakteknya tidak bisa pakai rapid test. Tapi dengan PCR (Polymerase Chain Reaction). Itu mesti diketahui oleh masyarakat.

Rapid test ini untuk skrining awal saja. Sifatnya hanya sesaat itu saja. Untuk epidemiologi. Kalau dilakukan di rumah sakit itu buat cek antibodi pasien apakah sudah terbentuk atau belum?

2. Tapi mengapa rapid test ini yang lebih banyak dipakai?

Dari awal saya juga sudah sampaikan di Maret 2020, bahwa rapid test ini harus dilakukan dalam skala kecil bukan yang dominan. Kita juga harus menguji validitas hasil tes itu.

Waktu saya ngomong itu di Maret 2020 baru 40 kit rapid test, sekarang sudah lebih dari 100 kit.

3. Semassif itu bisnis rapid test ini?

Iya. Sekarang, kita bersyukur Indonesia sudah bisa memproduksi kit sendiri dari BPPT memakai antigen lokal, bukan dari luar negara kita. Yang ideal dipakai itu yang buatan Indonesia. BPPT klaim kan sudah diuji di beberapa rumah sakit.

Harganya Rp75 ribu. Tapi itu mungkin baru alatnya saja. Kalau yang Rp150 ribu itu bisa jadi sudah ditambah biaya pelayanan, jarum suntik, penggunaan alkohol dan orang yang memeriksa. Beda kalau tes kehamilan yang bisa dilakukan sendiri.

4. Jadi, ada salah kaprah ya dalam memandang rapid test ini?

Iya, ada salah kaprah ini. Makanya bagus juga pemerintah memberikan harga Rp150 ribu maksimal. Bagaimana dengan yang sudah matok harga tinggi? Ya enggak ada untung lagi buat mereka. Makanya mereka setop.

5.  Bagaimana dengan rapid test yang dijadikan sebagai syarat untuk bepergian ke luar daerah?

Kalau bicara syarat, ya kita mau bilang apa? Mesti diperiksa dong. Tapi perlu dikritisi lagi itu tujuannya untuk apa? Kan rapid tes untuk sekedar tahu doang. Kalau untuk tahu positif itu meski di PCR bukan rapid test.

6. Pada akhirnya, rapid test ini jadi buah simalakama bagi masyarakat. Solusinya bagaimana?

Kembali lagi kepada kepentingannya. Rapid test untuk riset, epidemiologi untuk mengetahui angka kejadian.

Kalau yang harus dites banyak misal dalam lingkungan pesantren, ya harus cari yang murah. Jangan datang satu-satu ke rumah sakit karena pasti mahal.

Pemerintah saya rasa sudah bersikap tegas dengan keluarnya aturan. Jadi orang-orang yang coba ambil untung ya rugilah. Mereka pasti mikir lagi karena marginnya jadi kecil. Tapi, sebenarnya janganlah mengambil keuntungan dari musibah ini.

7. Beberapa layanan faskes menutup layanan rapid test ini setelah ditetapkannya batas tarif tertinggi sebesar Rp150 ribu. Apa tanggapan Anda?

Bagus juga pemerintah. Saya apresiasi pemerintah untuk coba tegas. Jadi ketahuan. Saya juga apresiasi dengan beberapa laboratorium swasta yang mau mengikuti aturan Kemenkes untuk turunkan biaya rapid test.

Kalau yang coba cari untung ya ga maulah mereka turunkan biaya rapid test. Cuma ya namanya surat edaran ya, itu sebatas imbauan.

Buat masyarakat yang memang kesulitan dapatkan layanan rapid test, coba datang ke laboratorium swasta daripada ke rumah sakit. Itu saran saya. (H-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum
Berita Lainnya