Media Harus Cermati 4 Perubahan Perilaku di Era Covid-19

Ade Alawi
31/5/2020 13:20
Media Harus Cermati 4 Perubahan Perilaku di Era Covid-19
Peran Media Massa di masa pandemi(Ilustrasi)

PANDEMI covid-19 memang memukul seluruh sektor kehidupan termasuk media massa. Tak heran, bila sejumlah media sudah memutus kontrak jurnalis dan koresponden/kontributornya. Bahkan, ada juga media yang sudah berancang-ancang mengurangi sebagian karyawannya.

Namun di mata Kepala Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Irwansyah, “kekejaman”  covid-19 bukan mengakhiri kehidupan media. Pasalnya, kata dia, berdasarkan data AC Nielsen pada 23 Maret 2020, jumlah pemirsa TV naik 25%. Selain itu, kepemirsaan untuk penonton anak mencapai rating tertinggi hingga 16,2%.

Seiring dengan upaya masyarakat untuk meningkatkan imunitas tubuh, lanjutnya, produk vitamin dan suplemen menyumbang total belanja iklan digital lebih dari Rp20 miliar.

“Fakta-fakta ini menunjukkan masih ada peluang media untuk bernafas panjang. Tinggal bagaimana kita membuat konten yang menarik,” ungkapnya dalam Halal bi Halal yang digelar News Research Center (NRC) Media Group News via aplikasi zoom, Jumat (29/5).

Dalam Halal bi Halal bertema Eksistensi NRC Menyambut New Normal dan Masa Depan Bisnis Media yang dimoderatori Head of NRC Ade Alawi, Irwansyah mengatakan, pandemik wabah korona dengan sejumlah protokol kesehatan yang ketat telah membentuk perilaku masyarakat.

Protokol Kesehatan itu, kata dia, adalah pembatasan dan pemisahan fisik, penggunaan masker, hand sanitizer, dan cuci tangan pakai sabun dan pola hidup sehat.

“Masyarakat mau tak mau harus mengubah pola hidupnya bila tak ingin menjadi korban covid-19,” tuturnya.

Baca juga:  Industri Media Massa Ajukan 7 Hal ke Pemerintah Terkait Pandemi

Menurutnya, ada empat perubahan perilaku di masyarakat sebagai dampak covid-19. Pertama, stay at home lifestyle.

“Tinggal di rumah adalah pilihan terbaik untuk tidak memutus rantai penularan covid-19. Ini fenomena global, karena covid-19 sudah menjadi wabah global juga,” ujarnya.

Kedua, lanjutnya, bottom of the pyramid.

“Masyarakat kembali kepada kebutuhan dasar, kebutuhan perut, seperti makan dan minum. Hal ini sebagai konsekuensi dibatasinya aktivitas fisik di luar rumah. Orang bukan lagi mengejar hirarki kebutuhan yang paling tinggi menurut teori Abraham Maslow, yakni aktualisasi diri,” jelasnya. 

Ketiga, go virtual. Pembatasan fisik di luar rumah, lanjutnya, menyebabkan pertemuan secara daring menjadi kebutuhan.

“Semua lapisan masyarakat dipaksa bertemu secara daring, seperti halal bi halal yang tadinya secara fisik, sekarang dilakukan secara virtual melalui aplikasi zoom. Inilah yang disebut virtual engagement,” tutur pakar komunikasi UI ini.

Keempat, sambungnya, empathic society. Merebaknya wabah korona membuat masyarakat membangun solidaritas bersama untuk membantu penanganan covid-19 atau membantu korban terdampak.

“Fenomena ini menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan, karena boleh jadi semakin tinggi partisipasi masyarakat mengatasi covid-19 membuktikan negara lemah menangani covid-19. Ada banyak penelitian menunjukkan fenomena ini,” terangnya. 

Terkait melonjaknya kebutuhan pertemuan daring, tambahnya, media harus melihatnya sebagai peluang untuk memburu revenue (pendapatan).

“Buatlah program-program diskusi daring, seperti yang dilakukan Media Indonesia atau IDM (Media Group) dengan mengundang tokoh sembari menggandeng sponsor/iklan,” ungkapnya.

Inovasi, menurutnya, adalah kunci pengembangan bisnis.

“Hanya kreativitas tanpa batas yang bisa menembus ruang dan waktu, termasuk di masa covid-19,” pungkasnya.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya