Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Akademisi Minta RUU Pertanahan Dibahas Ulang

Deri Dahuri
27/7/2019 11:19
Akademisi Minta RUU Pertanahan Dibahas Ulang
Prof Ida Nurlinda, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung.(Istimewa)

Dukungan dari kalangan akademisi dari fakultas kehutanan terus bertambah yang meminta DPR dan pemerintah membahas ulang Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Kalangan akademisi meminta RUU Pertanahan tidak disahkan oleh DPR periode 2014-2019.

Seruan untuk tidak mensahkan RUU Pertanagan disampaikan Prof Ida Nurlinda, Guru Besar Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung.  Prof Ida Nurlinda menyatakan sangat setuju untuk menunda pengesahan RUU Pertanahan.

“RUU Pertanahan harus ditunda dan dikembalikan pada semangat yang terkandung dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam," kata Ida Nurlinda, Sabtu (27/7) saat menanggapi rencana pengesahan RUU Pertanahan.  

"Pada hakekatnya penyusunan RUU Pertanahan memperhatikan prinsip-prinsip pembaruan agraria sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 dan arah kebijakan pembaruan agraria sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,” papar Ida Nurlinda.

Lebih lanjut, Ida Nurlinda menegaskan, RUU Pertanahan merupakan RUU yang inisiatif DPR dan diinisiasi sudah cukup lama yakni tahun 2012. Pada awalnya substansi pengaturannya tidak melebar seperti saat ini. Namun setelah daftar inventarisasi masalah (DIM) pemerintah masuk, ruang lingkup pengaturan RUU Pertanahan menjadi sangat melebar.

“Substansi pengaturan yang melebar seharusnya pembahasan, penggodokkannya melibatkan banyak pihak yang terkait dengan substansi pengaturan tersebut," ucap Guru Besar dari Unpad tersebut.

"Namun kenyataannya pembahasan RUU ini cenderung eksklusif tidak melibatkan partisipasi pihak-pihak terkait secara maksimal. Tidak saja partisipasi di interen pemerintah yang kewenangannya terkait/bersinggungan dengan aspek pertanahan, akan tetapi juga diinteren DPR itu sendiri,” ujar dosen dari Fakultas Hukum Unpad.

RUU Pertanahan, lanjut Ida, dimaksudkan untuk melengkapi dan memperkuat UU Pokok Agraria (UU PA) sebagai lex specialis dari UU PA yang merupakan lex generalis-nya. Namun substansinya justru banyak hal yang bertentangan dan melamahkan  UU PA. Misalnya pemberian hak guna usaha (HGU) yang didahului dengan pemberian hak pengelolaan.

Hal ini jelas tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU PA yang menegaskan bahwa HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Dalam PP No. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, pengertian tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Demikian juga halnya dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah negara.

Contoh lain, misalnya memberikan hak pengelolaan pada kawasan hutan. Tentu hal ini dapat merubah tatanan sistem hukum sumber daya alam, karena secara prinsip hal ini berbeda. Pada hukum kehutanan kita berbicaranya dalam perspektif kawasan, sedangkan hak pengelolaan tentu kita berbicara dalam konteks tanah sebagai suatu hamparan/permukaan bumi sebagaimana ditegaskan dalam UUPA.

Picu Ketimpangan

Mencermasi materi RUU Pertanahan, Ida Nurlinda mengatakan, perspektif kawasan juga keliru jika diatur dalam UU Pertanahan karena tidak sejalan dengan pengertian tanah yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (2) UUPA. Contoh lainnya adalah adanya pengaturan mengenai bank tanah pada RUU Pertanahan.

Sejatinya bank tanah dapat melemahkan program reforma agraria (redistribusi tanah), karena tanah yang menjadi objek reforma agraria, kurang lebih sama dengan tanah yang menjadi sumber bank tanah. Misalnya tanah terlantar.

Hal tersebut justru bertentangan dengan prinsip tanah berfungsi sosial sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 UUPA dan dapat memicu ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang sejatinya justru menjadi tujuan utama reforma agraria untuk menata ulang penguasaan dan pemilikan tanah tersebut.

Ida Nurlinda menegaskan permasalah tersebut menunjukkan ketidakkonsistenan RUU Pertanahan sebagai lex specialis dari UUPA. Hal demikian tentu dapat menimbulkan konflik, baik konflik ditataran peraturan perundang-undangan yang akan berpengaruh pada keajegan sistem hukum nasional, maupun konflik di tataran pelaksanaannya karena ketidaktegasan peraturan tersebut.

“Konflik juga berpotensi timbul dalam hal benturan kepentingan dan/atau kewenangan antar instansi pemerintah. Antara Kementerian ATR/BPN dengan kementerian lain yang kewenangannya bersinggungan. Hal ini dapat membuat pemerintahan menjadi tidak efektif,” tegas  Ida Nurlinda.(OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya