DALAM hati kecilnya, Raymundus Remang, 54, tak pernah menyangka bisa mendapatkan penghargaan Kalpataru. Namun, ia akhirnya bisa memeluk trofi warna emas berbentuk replika pohon lambang kehidupan itu dengan rasa bangga.
Kemarin, Raymundus bersama dengan 9 tokoh lainnya, didapuk sebagai penerima penghargaan Kalpataru 2019. Penghargaan diserahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di Jakarta.
Kalpataru diberikan kepada masyarakat yang telah berjasa dalam merintis, mengabdi, serta menyelamatkan hutan dan lingkungan. "Ini penghargaan yang luar biasa. Kalpataru ini sejarah dalam kehidupan suku kami, Dayak Iban," ucap Raymundus.
Raymundus merupakan Kepala Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kalimantan Barat yang mewakili suku Dayak Iban yang tinggal di hutan di tepian Sungai Utik. Selama 130 tahun lamanya, mereka melestarikan hutan secara turun temurun melalui adat istiadat. Mereka menjaga hutan dan tak memanfaatkannya secara eksploitatif.
Tanah to indae kitae, kampuang to apay kitae (tanah ini ibu kami, hutan ini ayah kami) begitulah filosofi mereka. "Sudah 130 tahun suku kami mendiami hutan. Leluhur kami berpesan untuk menjalin persaudaraan dan memelihara hutan untuk generasi penerus. Tanah ibarat sosok ibu yang memberi susu," tuturnya.
Suku Dayak Iban Kampung Sungai Utik menjadi salah satu pelindung hutan hujan tropis. Adat melarang mereka menebang pohon untuk dijual.
Wilayah yang didiami masyarakat adat di Sungai Utik seluas 9.504 hektare. Sekitar 6.000 ha di antaranya, berupa hutan lindung adat.
"Ketika dulu illegal logging marak uang dolar bergelimpangan, kami menolaknya. Kami hanya memanfaatkan pohon untuk membuat rumah dan lebih memilih pohon yang tumbang secara alami ketimbang menebang. Itu pun ada zona hutan khusus yang diperbolehkan mengambil kayu, tidak semuanya," imbuh lelaki generasi ke-5 Dayak Iban Sungai Utik itu.
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, imbuhnya, mereka berladang dan berburu di hutan.
"Segalanya tersedia kebutuhan makan sehari-hari di hutan seperti supermarket tanpa bayar," ucap Raymundus.
Suku Dayak Iban telah membuktikan, hidup berdampingan dengan alam bukan pilihan, tapi kebutuhan. Kini, mereka pun merasakan buah manis yang diberikan alam pada mereka. (Dhika Kusuma Winata/H-2)