Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Berharap Trastuzumab untuk Pasien Kanker Payudara

Dhaifurrakhman Abas
02/3/2019 10:50
Berharap Trastuzumab untuk Pasien Kanker Payudara
(Ist)

EDY Haryadi tak habis pikir, ia harus menerima kenyataan yang menimpa keluarganya. Sang istri, Yuni Tanjung, didiagnosis mengalami kanker payudara HER 2 positif. Salah satu penyakit yang bertanggung jawab atas tingginya kematian perempuan di dunia.
 
Derita belum selesai di situ. Di tengah-tengah perjuangan mendapatkan perawatan kemoterapi, sang istri mesti dihentikan pengobatannya di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur.
 
Alasannya, sang istri mengalami infeksi abses perianal ketika sedang melakukan siklus kemoterapi ke-4. Alhasil, demi keselamatan pasien, pihak rumah sakit terpaksa menghentikan kemoterapi, yang merupakan salah satu cara mencegah kanker.

“Kemoterapi itu tidak sembarangan. Mematikan kanker dan sel baik juga. Dan kalau dilanjutkan saat itu, istri saya bisa meninggal,” kata Edy Haryadi, kepada Medcom.id, Jumat (1/3).

Mengharap Trastuzumab

Usai itu, istri Edy dianjurkan untuk mendapatkan perawatan kemoterapi beserta layanan Herceptin atau Trastuzumab. Ini merupakan cara membunuh kanker dengan infus intravena. Trastuzumab bekerja dengan menempel pada sel kanker HER2, kemudian menghentikan pembelahan sel kanker dan pertumbuhannya.
 
Tapi, belum selesai sesi pengobatan berlangsung, ia kembali didera derita. Pihak rumah sakit tiba-tiba menghentikan pengobatan Trastuzumab, yang tadi direkomendasikan untuk istrinya.
 
“RSUP Persahabatan sudah tak lagi menerima layanan Trastuzumab bagi penderita kanker payudara HER2 positif per 1 April 2018,” ujarnya.
 
Edy lantas kebingungan dan langsung menemui pihak rumah sakit. Saat menggugat protes, pihak rumah sakit bilang, penghentian itu sesuai peraturan baru yang dikeluarkan BPJS Kesehatan soal pengobatan Trastuzumab yang tak lagi ditanggung BPJS Kesehatan.
 
“Padahal pengobatan ini tidak boleh ditunda, apalagi dihentikan. Kalau begitu terjadi, kata dokter saya, pengobatan sebelumnya akan sia-sia,” ujar Edy mencurahkan kesedihannya.
 
Kalau membayar secara mandiri, Edy mengaku tak kuasa menanggung biaya pengobatannya. Soalnya, untuk mendapatkan obat ini, dibutuhkan rupiah yang melimpah. Dibanderol dengan harga antara sekitar Rp25 juta hingga Rp28 juta per 440 miligram.
 
“Sementara seorang penderita kanker HER2 positif harus menjalani delapan sesi Trastuzumab (yang ditanggung BPJS Kesehatan),” ujarnya.

Mencurigai BPJS

Dalam surat yang ditulis Edy, ia menduga RSUP Persahabatan menghentikan layanan Herceptin atau Trastuzumab karena kesulitan mengklaim biaya pengobatan itu ke BPJS Kesehatan. Sebab, terapi pengobatan Trastuzumab mahal.
 
Dia langsung membawa perkara ini ke pengadilan. Dia menggugat Direksi BPJS Kesehatan. Bahkan tak main-main, Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut dibawa-bawa. Dengan alasan, direksi BPJS Kesehatan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
 
“Presiden ikut digugat karena dia bertanggung jawab atas pembiaran terhadap aksi sepihak Direktur BPJS Kesehatan yang menghapus obat Trastuzumab yang amat dibutuhkan penderita kanker payudara HER2 positif,” ujarnya.
 
Singkat cerita, perkara ini kelar setelah Edy serta pihak yang digugat menjalani mediasi. Teranyar, kata Edy timbul kesepakatan dari BPJS Kesehatan untuk memberikan pengobatan Trastuzumab kepada istrinya.

Kembali berulah

Ketika istri Edy memasuki pengobatan Trastuzumab yang ke-6, tiba-tiba saja pihak rumah sakit kembali menghentikan pengobatan itu. Edy yang berang lantas meminta pertanggungjawaban rumah sakit yang terlibat. Tapi, dokter malah kebingungan, lalu berdebat dengan bagian farmasi.
 
Setelah diselidiki lebih lanjut, Edy bilang, hal ini karena BPJS Kesehatan memajukan syarat baru. Mereka berdalil, untuk mengklaim biaya pengobatan itu, pasien mesti menjalani dua kali rejimen kemo terapi, alias 12 kali siklus kemo.
 
Tanpa syarat itu, kata Edy, BPJS Kesehatan menolak membayar obat yang sudah dipakai untuk mengobati pasien kanker payudara HER 2 positif RSUP Persahabatan. Sementara istri Edy, baru mulai rejimen pertama pada siklus ke-4 sudah mengalami infeksi parah, abses perianal, hingga muncul nanah di bagian anus.
 
“Sungguh luar biasa keterlaluan. Ini menunjukkan pula bahwa BPJS Kesehatan tidak memiliki kehendak baik untuk melaksanakan akta perdamaian gugatan kita pada Jokowi, Menkes, BPJS Kesehatan dan Dewan Pertimbangan Klinis beberapa waktu lalu untuk menjamin kembali Trastuzumab bagi penderita kanker payudara Her2 positif.
 
Dia juga menyesalkan pernyataan BPJS Kesehatan, yang berdalil, untuk mengklaim biaya pengobatan itu, pasien mesti menjalani dua kali rejimen kemo terapi, alias 12 kali siklus kemo. Padahal waktu di persidangan, syarat-syarat tersebut tak disebutkan di muka hakim.
 
“Jelas itu syarat yang mengada-ada meski mengutip dari Permenkes No 22/2018 tentang Petunjuk Teknis Pengunaan Trastuzumab. Bahkan hukum BPJS Kesehatan kala itu di depan hakim mediator hanya melontarkan soal IHK, scan dan imaging sebagai syarat (istri saya) bisa mengakses Trastuzumab,” katanya berang.
 
Atas pengalaman yang menimpa istrinya itu, Edy ingin sekali Jokowi perlu tahu tentang realitas ini. BPJS Kesehatan memasukkan satu klausul, yang menurut Edy, tak masuk akal. Bahkan, ia mengancam, kalau urusan ini tak tuntas, dia akan kembali membawa perkara ini ke meja hijau.
 
“Yang jelas, bila pekan depan kepastian penghentian Trastuzumab makin positif, kita akan menggugat kembali Jokowi, Menkes, BPJS Kesehatan dan Dewan Pertimbangan Klinis karena telah melakukan wanprestasi alias tidak menghargai akta perdamaian di depan hokum,” tandasnya.

Tanggapan BPJS

Sementara itu, Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS, Maya Amiarny Rusady, mengaku tidak pernah ada statement dari pihaknya untuk tidak menjamin obat rejimen ke-6 yang dituntut Edy. Dia bilang, perkara ini barangkali terjadi karena adanya kesalahpahaman.
 
“Tidak pernah ada statement dari kita bahwa obat rejim ke-6 tidak dijamin, asalkan sesuai ketentuan Kemenkes, kita jamin,” tegas dia kepada Medcom.id.
 
Tapi, kata dia, perkara ini tidak lantas ditinggalkan begitu saja. Pihaknya akan menggelar pertemuan yang bakal dihadiri berbagai pihak terkait, agar masalah tersebut bisa menemukan titik terang.
 
“Besok tanggal 4, kalau tidak salah, akan digelar pertemuan antara rumah sakit, dokter penanggung jawab yang memberikan resep, serta pihak BPJS. Itu saja ya,” tukas Maya menutup perbincangan. (Medcom/OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto
Berita Lainnya