Asa Memutus Rantai Kekerasan

Cahya Mulyana
17/10/2020 06:35
Asa Memutus Rantai Kekerasan
Korban penembakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dibawa menggunakan truk menuju pesawat saat evakuasi di Intan Jaya, Papua, Senin (14/9(ANTARA FOTO/Humas Polda Papua/wpa/handout/foc)

TINDAK kekerasan terus berulang di Tanah Papua. Yang terbaru, dalam kurun waktu 16-20 September ada empat orang yang tewas tertembak di Intan Jaya, Papua. Keempatnya terdiri dari satu warga sipil bernama Badawi, dua prajurit TNI Serka Sahlan dan Pratu Dwi Akbar, dan seorang pendeta yang juga tokoh masyarakat setempat, Yeremias Zanambani.

Kematian pendeta Yeremias mengundang kegusaran warga. Pihak kelompok separatis yang disebut pemerintah sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB) dan TNI saling menuding terkait dengan pelaku penembakan.

Kasus tersebut hanya satu dari daftar panjang peristiwa kekerasan di 'Bumi Cenderawasih'. Sebagian besar kasus tidak ada penuntasan secara hukum di pengadilan.

Peneliti pada Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Cahyo Pamungkas mengatakan lemahnya penegakan hukum membuat rantai kekerasan tidak kunjung terputus.

"Selama ini kalau untuk pelanggaran-pelanggaran HAM (hak asasi manusia) di Papua kan belum ada yang diajukan ke pengadilan, kasus Wamena, Wasior, dan Insiden Paniai 2014, itu juga belum masuk," kata Cahyo, Sabtu (3/10).

Cahyo melihat hubungan yang saling menegasikan pemerintah dengan kelompok prokemerdekaan Papua. Ia menilai masalahnya terletak pada tidak ada jembatan antara kedua belah pihak.

"Dulu ada Jaringan Damai Papua yang dibentuk Pastor Neles Tebay, tapi semenjak meninggalnya Pastor Neles, jaringan itu kemudian kurang efektif untuk menjadi jembatan," tandas Cahyo.

Menurut Cahyo, pemerintah semestinya membuka dialog dengan kelompok-kelompok yang menghendaki kemerdekaan Papua seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) maupun sayap militer Organisasi Papua Merdeka Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.

Selain itu, perdamaian dapat dicapai melalui transformasi konflik. Cahyo mencontohkan transformasi konflik pada era Presiden Abdurrahman Wahid yang dilakukan secara bertahap.

"Kalau Gus Dur menyelesaikan konflik dengan transformasi konflik secara gradual, mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, mengizinkan Bintang Kejora berkibar, itu bisa juga sebetulnya untuk mencapai perdamaian," papar Cahyo.

Dalam hal penyelesaian konflik, Direktur Imparsial Al Araf mengatakan Indonesia sesungguhnya memiliki banyak pengalaman. Ia mengatakan model pendekatan Aceh, Ambon, atau Poso bisa dipilih pemerintah untuk digunakan di Papua. Yang penting semua pihak perlu duduk bersama dan berdialog menyelesaikan masalah yang ada.

"Namun dialog itu perlu dilakukan secara fair, independen, dan dipercaya kedua pihak sehingga menemukan solusi penyelesaiannya. Aceh ialah salah satu contoh model dialog yang baik dan hingga kini Aceh tetap jadi bagian indonesia," tutur Al Araf.

Al Araf mengingatkan kekerasan yang terjadi di Papua sudah terjadi terlampau lama. Kekerasan itu menjadi ingatan menyakitkan bagi warga setempat dan memperkuat rasa tidak percaya rakyat pada pemerintah karena tidak ada penghukuman bagi pelaku kekerasan.

Alhasil konflik di Papua terus berlangsung dan menjadi problem dalam penyelesaian Papua secara damai.

 

Bentuk TGPF

Kasus kekerasan di Intan Jaya yang menewaskan pendeta Yeremias memunculkan desakan kepada pemerintah untuk mengusut secara adil. Pemerintah pun merespons dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang mulai bertugas 5 Oktober lalu.

Tim investigasi lapangan TGPF Intan Jaya diketuai Benny Mamoto yang juga Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo.

Tim tersebut diisi akademisi, tokoh masyarakat Papua, tokoh gereja Papua, birokrat, TNI, Polri, hingga Badan Intelijen Negara (BIN). Keberadaan TNI, Polri, dan BIN mendapat cemooh dari kelompok separatis.

Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sambom menyatakan pihaknya menolak investigasi yang dilakukan TGPF karena hasilnya dipastikan tidak independen.

"Bagaimana mungkin hasilnya bisa dipercaya kalau yang memeriksa adalah pelakunya (aparat keamanan) sendiri," cetusnya.

Namun, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan TGPF yang bertugas mengungkap empat kematian di Intan Jaya, Papua, bekerja objektif, profesional, berintegritas, dan tidak bisa dibeli.

Walau sempat dihadang dan ditembaki, tim investigasi lapangan TGPF Intan Jaya pantang mundur dan berhasil menuntaskan tugas pencarian fakta. Warga setempat yang sempat resisten juga berhasil mereka luluhkan.

"Alhamdulillah semua target pencarian fakta itu dengan diwarnai hambatan berupa teror, penghadangan dan penembakan, tetapi tetap berhasil sesuai dengan target yang dibawa dari Jakarta," tutur Ketua Tim Investigasi Lapangan TGPF Benny Mamoto.

Ia menjelaskan, TGPF menggunakan pendekatan kultural sehingga berhasil menembus blokade yang sempat dikuasai KKB untuk menemui keluarga korban dan para saksi.

"Dulu aparat-aparat pun, pemda pun, tidak berhasil menemui keluarga. Bahkan, keluarga yang berhasil bertemu pun dulu tidak berani, tidak memberi keterangan dan seperti keterangannya itu sangat tertutup."

Para keluarga korban khususnya dari pihak pendeta Yeremias menyetujui proses autopsi dan memberikan keterangan secara gamblang.

Tim juga sudah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Benny menjanjikan laporan hasil investigasi akan disampaikan ke Menko Polhukam pada hari ini. (Ykb/Che/Tri/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya