Headline

DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Beras Premium dan Medium akan Dihapus, Hasil Produk Penggilingan Dikhawatirkan Berbeda

Naufal Zuhdi
31/7/2025 14:10
Beras Premium dan Medium akan Dihapus, Hasil Produk Penggilingan Dikhawatirkan Berbeda
Ilustrasi: Petugas Satgas Pangan Ditreskrimsus Polda Bali memeriksa beras saat melakukan sidak peredaran beras oplosan di tempat penggilingan padi(ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)

PUBLIK disibukkan oleh pembahasan rencana pemerintah menghapus beras premium dan medium saat ini. Ke depan, hanya ada beras umum atau beras reguler dan beras khusus.

Pemerintah akan tetap mengatur harga eceran tertinggi (HET) beras reguler, sebagai batas atas di pasaran. Sementara untuk beras khusus harganya tidak diatur pemerintah. Namun, pelaku usaha perlu memegang sertifikat terhadap merek beras khusus itu. 

Merespons hal itu, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyoroti persoalan penggilingan padi skala kecil dan skala menengah-besar dengan investasi yang berbeda dan pasti akan menghasilkan produk yang juga berbeda.

Ia mengatakan, penggilingan padi kecil tak mampu menghasilkan beras kualitas baik berbiaya rendah, kehilangan hasil tinggi, banyak butir patah, rendemen rendah, dan tak mampu menghasilkan beras dengan higienitas tinggi. 

"Sebaliknya, penggilingan padi besar, apalagi penggilingan padi terintegrasi, bisa menghasilkan beras berkualitas bagus, biaya rendah, kehilangan hasil rendah, butir patah sedikit, dan rendemen tinggi," ucap Khudori dikutip dari keterangan tertulis yang diterima, Kamis (31/7).

Sebagaimana diketahui, dari sebanyak 169.000 unit, 95% tergolong penggilingan kecil, disusul penggilingan menengah 4,32% dan penggilingan besar 0,62%. Adapun dominasi penggilingan padi kecil adalah hasil kebijakan era 1970-an, ketika konsumen masih memperlakukan beras sebagai komoditas homogen. Namun saat ini, beras tak lagi dipandang sebagai komoditas homogen, tapi produk heterogen sesuai atribut seperti rasa, kualitas, varietas, kemasan, dan bahkan brand.

"Apapun kebijakan yang diambil, termasuk penyederhanaan klasifikasi beras, harus menimbang kondisi riil di atas. Menurut hemat saya, setidaknya tersedia empat alternatif yang bisa ditimbang dengan segenap plus-minusnya. Pertama, HET beras umum adalah beras premium dengan tingkat butir patah terendah. Ketentuan ini sebaiknya mengacu ke SNI 2015: maksimal butir patah 5% dan butir menir 0%. Derajat sosoh 95%. Dengan ketentuan ini, harga beras dengan kelas mutu di bawahnya akan menyesuaikan," jelas Khudori.

Dengan ketentuan ini, Khudori meyakini bahwa pemilik merek beras premium bisa berlomba-lomba menawarkan produk terbaiknya untuk konsumen dan penggilingan padi kecil bisa memproduksi beras kelas di bawahnya dengan harga menyesuaikan.

Alternatif kedua, HET beras umum adalah titik tengah HET dan kelas mutu antara beras medium dan premium dengan konsekuensi masyarakat yang biasa mengonsumsi beras medium akan terbebani oleh kenaikan harga. Konsekuensi lainnya, jika maksimal butir patah 12,5%-15% dan butir menir 1% (ini nilai tengah kelas mutu medium dan premium), penggilingan padi kecil dikhawatirkan tidak mampu memenuhi kualifikasi mutu ini. 

"Ketentuan ini membuat regulasi di Indonesia masih selaras dengan internasional," beber Khudori.

Alternatif ketiga, ia meminta agar pemerintah membebaskan HET beras premium dengan mewajibkan produsen memproduksi beras medium dengan rasio tertentu (misalnya 50:50) pada HET yang ditentukan. 

"Jadi, HET hanya ada pada beras medium dengan kualifikasi mutu: maksimal butir patah 25% dan butir menir 2%. Derajat sosoh minimal 95%. Dengan cara ini, produsen beras premium bisa berlomba-lomba menawarkan produk terbaik bagi konsumennya. Dengan tiada HET beras premium, keuntungan produsen bisa di-'subsidi' silangkan ke beras medium," ungkapnya.

Alternatif keempat adalah menghapus HET, baik beras premium maupun medium atau mengganti HET dengan 'harga langit-langit' (ceiling price). Opsi keempat ini harus dibarengi dengan mengubah paradigma pemerintah (melalui Bulog) dari sebagai pemadam gejolak harga pangan menjadi pembentuk (pelaku) pasar yang stabil.

"Berbeda dengan HET, 'harga langit-langit' tidak mengikat publik, tapi hanya mengikat BULOG sebagai representasi pemerintah. Karena itu, 'harga langit-langit' tidak perlu diumumkan ke publik seperti HET. 'Harga langit-langit' menjadi alarm bagi pemerintah lewat BULOG untuk mengintervensi pasar," tandasnya. (Fal/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya