Headline

Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.

Banyak Penggilingan Padi Kecil Tutup, Kalah Saing dengan Korporasi

Ihfa Firdausya
13/8/2025 06:20
Banyak Penggilingan Padi Kecil Tutup, Kalah Saing dengan Korporasi
Ilustrasi(Antara)

Peneliti Center of Reform on Economic (CoRE) Eliza Mardian menanggapi penghentian operasional sekitar 30% pengusaha penggilingan kecil di Jawa Tengah. Seperti diberitakan, para pengusaha penggilingan kecil itu terbebani dengan kenaikan harga pokok produksi (HPP) gabah menjadi Rp6.500 per kg, sementara harga eceran tertinggi (HET) beras tetap Rp12.500 per kg.

Eliza menyebut penggilingan kecil kalah saing dengan penggilingan swasta yang secara modal lebih besar dan teknologi lebih canggih. Ketika harga pembelian gabah naik, otomatis dana yang harus dimiliki penggilingan kecil bertambah juga.

“Namun, karena keterbatasan modal sehingga mereka tidak bisa lagi menyerap gabah karena kalah saing dengan korporasi besar dan pada akhirnya tutup,” ujarnya kepada Media Indonesia, Selasa (12/8).

Menurutnya, penggilingan kecil berebut dengan korporasi, bukan pemerintah. Namun selama ini yang dituduhkan adalah karena pemerintah terlalu banyak menyerap gabah petani.

“Padahal kalau hitung-hitungan, Bulog menyerap beras per Juni saja cuma 2,4 juta ton. Sementara produksi beras Januari-Juni 2025 itu 19 juta ton. Artinya pemerintah cuma bisa menyerap 12,5%. Stok Bulog yang sampai 4,7 juta itu sebagian limpahan stok kemarin dan sisa impor,” paparnya.

Artinya, sambung Eliza, yang menjadi soal adalah penggilingan kecil rebutan dengan korporasi besar yang bisa menyerap dalam jumlah banyak karena memiliki kekuatan modal dan teknologi.

“Karena harga ini ditentukan oleh yang mengendalikan stok terbanyak. Dalam hal ini berarti middleman alias bandar atau distributor yang menentukan harga,” jelasnya.

Selama ini, kata Eliza, pasar beras di Indonesia memang penuh dengan asimetris informasi. Ketiadaan basis data yang valid real time dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan keuntungan konsumen yang dirugikan.

“Dan satu hal, terlalu besarnya korporasi menguasai stok beras juga ini berisiko tinggi karena mereka akan memaksimalkan profit,” ungkapnya.

“Jadi perlu ada pengaturan agar korporasi tidak begitu mendominasi di sektor strategis. Oplosan ini kan juga justru banyak dilakukan korporasi,” pungkasnya. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya