Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Indonesia Diminta Gunakan Daya Tawar dalam Negosiasi Trump

M Ilham Ramadhan Avisena
14/7/2025 19:16
Indonesia Diminta Gunakan Daya Tawar dalam Negosiasi Trump
Ilustrasi: kesibukan aktifitas bongkar muat kontainer di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta(MI/Usman Iskandar)

PEMERINTAH Indonesia dinilai memiliki sejumlah opsi strategis dalam negosiasi kebijakan perdagangan dari Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump. Setidaknya terdapat tiga kekuatan yang dapat dijadikan alat dalam negosiasi, utamanya terkait sektor mineral dan hubungan geopolitik kawasan.

"Ada beberapa daya tawar yang bisa dilakukan Indonesia dalam negosiasi dengan Trump. Yang pertama adalah soal perpanjangan IUPK Freeport tahun ini. Dan juga relaksasi ekspor konsentrat yang selama ini diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada Freeport," ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira saat dihubungi, Senin (14/7). 

Menurutnya, izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dan kebijakan ekspor tembaga konsentrat merupakan kepentingan vital bagi Freeport-McMoRan, perusahaan asal Amerika yang beroperasi di Papua. Oleh karena itu, evaluasi terhadap perizinan tersebut bisa digunakan sebagai alat tekan.

"Itu bisa dijadikan daya tawar. Jadi kalau ada moratorium atau evaluasi terhadap perizinan IUPK Freeport, maka itu bisa membuat kepentingan Amerika Serikat untuk mendapatkan keuntungan dari hilirisasi mineral di Indonesia tertunda," jelas Bhima.

Selain itu, dia menekankan pelarangan ekspor tembaga konsentrat juga berpotensi memberikan kerugian besar bagi Freeport. "Begitu juga soal relaksasi ekspor konsentrat, ekspor tembaga. Itu begitu dilakukan moratorium atau pelarangan izin ekspor tembaga konsentrat, maka Freeport bisa lebih banyak dirugikan sebenarnya," lanjut Bhima.

Pada poin tersebut, imbuhnya, merupakan momentum bagi Indonesia untuk membuka ruang negosiasi yang lebih kuat. Bhima juga menyoroti aspek geopolitik sebagai senjata negosiasi yang tak kalah penting. 

Ia menilai bahwa pendekatan Indonesia ke Tiongkok bisa dijadikan sinyal kuat kepada Amerika. "Indonesia akan semakin dekat dengan Tiongkok, tidak hanya melalui BRICS tapi juga kerjasama di Laut China Selatan,” katanya.

Kedekatan tersebut, tambah Bhima, akan menjadi konsekuensi logis dari kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Amerika terhadap Indonesia. Jika Indonesia dikenai tarif hingga 32% ditambah 10% dari statusnya sebagai anggota BRICS, maka hal itu berisiko merenggangkan hubungan bilateral kedua negara.

"Itu tentunya bisa membuat Amerika berpikir ulang, karena semakin dia memusuhi Indonesia dengan tarif 32% plus 10% BRICS, maka ini akan berdampak signifikan terhadap hubungan Indonesia dengan Amerika yang membuat Tiongkok semakin dekat ke Indonesia," kata Bhima. 

Selain itu, Bhima mendorong pemerintah untuk menyiapkan respons retaliasi bersama negara-negara ASEAN. Dengan kekuatan kolektif, menurutnya, Indonesia bisa menekan balik kebijakan yang merugikan secara ekonomi.

"Itu harusnya menjadi salah satu kekuatan Indonesia agar tarifnya tidak terlalu tinggi, karena kalau produk impor dari Amerika dikenakan tarif yang sama, yang rugi adalah Amerika," pungkas Bhima. (Mir/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik