Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

APSyFI Ungkap Ada Tiga Kelompok yang Punya Kepentingan Berbeda soal BMAD

Naufal Zuhdi
27/6/2025 20:42
APSyFI Ungkap Ada Tiga Kelompok yang Punya Kepentingan Berbeda soal BMAD
Pabrik benang filamen.(Antara)


KPUTUSAN Menteri Perdagangan yang menolak usulan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang filamen asal Tiongkok menuai kontroversi di kalangan pelaku industri. Keputusan ini dinilai merugikan sektor hulu dan intermediate yang menjadi fondasi utama rantai pasok tekstil nasional.

Namun di balik polemik itu, terselip persoalan lain yang tak kalah krusial terkait terbelahnya kepentingan di asosiasi tekstil. Padahal, asosiasi dibentuk untuk memperjuangkan kepentingan industri nasional, bukan kepentingan segelintir pelaku usaha yang justru menjadikan celah regulasi sebagai model bisnis.

Terkait hal ini, Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menyampaikan menghormati masukan dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang menaungi banyak pelaku di sektor tekstil. Namun, API tampaknya belum sepenuhnya mencerminkan kepentingan strategis industri nasional secara menyeluruh.

“Kita harus jelaskan ke publik bahwa tidak semua anggota API menolak BMAD. Kenyataannya, ada tiga kelompok besar yang punya kepentingan berbeda,” ujar Redma dikutip dari siaran pers yang diterima, Jumat (27/6).

KELOMPOK BESAR
Redma merinci, kelompok pertama adalah pelaku industri tekstil dalam negeri yang memang fokus pada produksi, terutama dari sektor spinning. Mereka sangat mendukung penerapan BMAD karena menyadari ancaman serius dari membanjirnya barang dumping yang menekan harga dan merusak daya saing.

“Kelompok ini pro industri nasional. Mereka enggak main impor. Mereka tahu betul kalau dumping dibiarkan, itu bisa menghancurkan ekosistem industri dari hulu sampai hilir,” jelasnya.

Kelompok kedua adalah perusahaan tekstil yang juga mengimpor barang, namun dalam skala terbatas. Sedangkan kelompok ketiga adalah yang paling dominan dalam memainkan opini publik dan diduga kuat menjadi kekuatan dibalik penolakan BMAD. 

Kelompok ini disebut sebagai pemain impor besar, yang tidak masuk ke dalam API. Namun melalui API, para importir ini melakukan pergerakan untuk mengakali aturan impor tersebut.

“Mereka bukan cuma ambil kuota gede, tapi juga jual barang dumping di dalam negeri. Bahkan mereka ini punya jejaring kuat ke kementerian. Tekanan dari mereka yang bikin pejabat enggan menetapkan BMAD,” ungkap Redma.

INDUSTRI INTERMEDIATE
Kekhawatiran akan dampak penolakan BMAD juga disuarakan Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS) Fadjar Budiono. Ia menegaskan bahwa industri intermediate dan hulu saat ini sudah merasakan tekanan berat akibat dumping produk poliester dari Tiongkok.

“Yang paling kena itu bagian poliesternya. Sekarang harga poliester dari Tiongkok jatuh karena dumping. Kalau ini dibiarkan, industri intermediate bisa kolaps,” tegas Fadjar.

Dampak berikutnya akan menjalar ke hulu terutama pada produsen PTA (purified terephthalic acid) yang saat ini juga tengah mengalami penurunan permintaan dari dalam negeri. Fadjar menyebut para pelaku hulu bahkan kini mencoba bertahan dengan mendorong ekspor, namun keberlanjutan strategi ini diragukan.

“Kalau ekspor mentok, mereka bisa rate down juga. Padahal PTA itu bahan bakunya dari Pertamina, jadi kalau mereka tutup, pasokan aromatik kayak paraxylene bisa kelebihan produksi,” paparnya.

EFEK BERANTAI
Kondisi ini, lanjut Fadjar, bisa memberikan efek berantai hingga mengganggu stabilitas pasokan energi nasional. Bila pasokan bahan baku petrokimia tidak terserap, maka operasional kilang Pertamina bisa terganggu. Hal ini tentu akan berdampak bukan hanya ke industri tekstil, tetapi juga menyentuh sektor energi.

“Kita harus melihat ini sebagai satu kesatuan rantai pasok nasional. Pemerintah seharusnya mengambil keputusan yang mempertimbangkan keseluruhan ekosistem, dari hulu sampai hilir,” ujarnya.

Dirinya pun menyerukan agar pemerintah tidak terburu-buru mengambil keputusan sepihak. Fadjar menyarankan agar pemerintah mengundang kembali semua pihak untuk duduk bersama dan mencari titik temu.

“Musyawarahkan lagi antara pelaku hulu dan hilir. Masih belum terlambat kok. Kalau pun BMAD dianggap terlalu tinggi, ya dikoreksi saja angkanya. Tapi jangan dibiarkan sama sekali,” ujarnya.

MENGATUR BARANG IMPOR
Pihaknya juga menekankan bahwa semangat BMAD bukan untuk menutup pintu impor, melainkan untuk mengatur agar barang impor tidak merusak pasar domestik. “Kalau industri nasional butuh 100, ya tanya dulu dalam negeri bisa nyuplai berapa. Sisanya baru impor. Jangan dibalik, malah impor dulu yang diprioritaskan,” tegasnya.

Menurut Fadjar, iklim usaha yang tidak berpihak pada produksi dalam negeri akan menggerus kepercayaan investor. Artinya, kunjungan Presiden Prabowo Subianto untuk menarik investor luar negeri pun percuma jika tidak ada perlindungan. 

“Ya percuma aja kita jemput investor, bawa ke Rusia, kasih angin segar, tapi pas balik ke Indonesia, justru hulunya dibiarkan babak belur. Kan itu aneh. Padahal industri hulu itu padat modal dan padat karya. Harusnya dilindungi,” pungkas Fadjar. (E-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Heryadi
Berita Lainnya