Lonjakan Pinjol Cermin Daya Beli Masyarakat Melemah

Insi Nantika Jelita
13/6/2025 16:00
Lonjakan Pinjol Cermin Daya Beli Masyarakat Melemah
Sejumlah massa aksi menunjukkan poster saat unjuk rasa di Taman Elektrik, Kota Tangerang, Banten( ANTARA FOTO/Putra M. Akbar)

Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai peningkatan pinjaman online (pinjol) yang begitu tinggi menjadi cerminan penurunan daya beli masyarakat. 

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan penyaluran pinjaman melalui fintech peer-to-peer lending (P2P lending) pada April 2025 tumbuh 29,01% secara tahunan (yoy), naik dari Maret yang sebesar 28,72%. Sementara itu, skema pembiayaan buy now pay later (BNPL) mencatat pertumbuhan lebih tinggi lagi, yakni 47,11% pada April, meningkat dari 39,28% pada bulan sebelumnya.

Laju pertumbuhan ini jauh melampaui pertumbuhan kredit perbankan yang hanya mencapai 8,88% secara tahunan dan cenderung terus melambat sepanjang tahun. 

"Jika kecenderungan pertumbuhan pinjol yang fantastis ini terus berlanjut, maka bisa diartikan kondisi daya beli masyarakat makin menurun," ujarnya kepada Media Indonesia, Jumat (13/6).

Awalil menjelaskan plihan terhadap pinjol umumnya didorong oleh kemudahan dan kecepatan proses, fleksibilitas yang tinggi, serta minimnya persyaratan dokumen. Namun, biaya dan bunga pinjaman online tergolong paling tinggi dibandingkan opsi pembiayaan lainnya.

Menurutnya, tingginya bunga yang tersalurkan melalui platform digital dapat memperbesar potensi gagal bayar, terutama jika tidak dibarengi dengan kemampuan finansial yang memadai dari para peminjam. 

"Dengan tingginya nilai pinjol, risiko gagal bayar pun akan meningkat. Hal ini memberikan dampak buruk bagi pemberi pinjaman maupun peminjam," ungkapnya.

Tingginya suku bunga tersebut sering kali disadari oleh peminjam, sehingga penggunaan pinjol lebih mencerminkan kondisi terpaksa daripada rasionalitas ekonomi. 

Faktor keterpaksaan ini diperkuat oleh data mengenai peningkatan rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) pada pinjol, yang kini sudah melebihi rasio kredit macet di sektor perbankan. Berdasarkan data OJK, 
tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) juga mengalami sedikit kenaikan ke level 2,93% dari sebelumnya 2,77% pada Maret 2025.

"Adanya faktor keterpaksaan berutang ini diperkuat oleh informasi meningkatnya kredit macet atau yang bermasalah dalam pinjol. Besarannya juga melampaui kredit macet di perbankan," imbuhnya.

Secara umum, Awalil menyebut penggunaan pinjol masih didominasi untuk kebutuhan konsumsi. Hal ini terutama terlihat pada skema BNPL yang difasilitasi oleh berbagai platform e-commerce yang memang berfokus pada penjualan barang konsumsi. Maka, selain menggambarkan daya beli yang melemah, tren ini juga mencerminkan pergeseran preferensi konsumen terhadap sumber pembiayaan yang cepat dan instan, meski mahal dan berisiko tinggi. (Ins/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya